Oleh: Salman Faris
Pada tahun 1692 M, tidak ada tanah yang lebih bermakna bagi para penguasa Karangasem di Bali selain Pulau Lombok. Ketika pada suatu pagi, empat buah perahu berlayar dari pantai Jasri yang dipimpin raja Anglurah Ketut Karangasem dan Arya Kertawaksa. Pelayaran kecil diiringi oleh 40 orang prajurit kebal nan sakti dari desa Seraya. Di angkasa yang cerah, ribuan kupu-kupu kuning terbang bergelombang ikut menyeberangi selat Lombok yang terkenal berarus deras.
Dalam narasi sejarah yang dibalut oleh mitos dan legitimasi spiritual, Lombok digambarkan bukan semata-mata sebagai perluasan wilayah, melainkan sebagai janji keemasan yang harus dipenuhi demi kelangsungan kekuasaan, kebanggaan, dan kejayaan Bali. Tidak heran bila dalam berbagai babad dan cerita lisan yang mengalir dari masa ke masa, penaklukan Lombok oleh Karangasem tidak hanya disusun sebagai tindakan militeristik, tetapi sebagai perjalanan suci yang didukung oleh kekuatan gaib, restu para leluhur, dan petanda alam seperti mitos kupu-kupu kuning yang terbang menyeberangi Selat Lombok.
Di sinilah mitos berperan sebagai mesin ideologis. Ia menciptakan kepercayaan, memberikan arah, dan membentuk logika kekuasaan. Dalam konteks Karangasem, mitos kupu-kupu kuning bukan sekadar cerita indah untuk menghibur rakyat, melainkan sebuah kerangka naratif yang mendalam untuk meyakinkan bahwa ekspedisi ke Lombok adalah kehendak para dewa. Restu para leluhur mereka.
Dalam teks yang kita warisi, kupu-kupu kuning itu bukanlah makhluk biasa. Ia merupakan transfigurasi daun kayu kepel yang luruh dari pohon dianggap sakral di Pura Bukit. Pohon yang diyakini tumbuh dari tongkat ibu Betara Alit Sakti. Maka, dengan mengikuti perahu para prajurit ke seberang lautan, kupu-kupu itu menjadi simbol keabsahan kekuasaan Bali atas Lombok, bahkan sejak sebelum perahu pertama menginjak pantainya.
Lombok dalam konteks ini bukan sekadar objek perluasan wilayah. Ia adalah tanah impian. Tanah yang dijanjikan. The promised land bagi para raja Karangasem. Pesan mitologis dari Ida Betara Alit Sakti sangat jelas dalam narasi “Lihatlah ke seberang lautan di Timur kita, tanahnya luas dan subur, bisa akan dikuasai. Arahkan perhatian Uwa ke Nusa Sasak.”
Narasi tersebut bukan hanya arahan geopolitik, melainkan pemetaan spiritual yang menyatakan Lombok sebagai sumber kehidupan, masa depan, dan kejayaan Bali. Tanah Lombok adalah tanah basah yang menjanjikan panen kekuasaan dan kekayaan yang tidak dimiliki di wilayah timur Bali pada masa itu.
Namun, dalam narasi semacam ini, mitos tidak bekerja sendirian. Ia bertaut erat dengan narasi sejarah dan politik. Dalam versi lain yang dimuat dalam babad, konflik internal antara kerajaan Selaparang dan Pejanggik menjadi celah emas bagi ekspansi Karangasem. Di tengah ketegangan antara Arya Banjar Getas (ABG) dan para penguasa lokal, Karangasem dinarasikan hadir sebagai penyelamat yang membela keadilan untuk ABG. Tapi di balik topeng pertolongan itu, sesungguhnya tersembunyi ambisi yang jauh lebih besar mengubah Lombok menjadi pusat kekuasaan Bali di luar pulau. Keputusan Raja I Gusti Bagus Anglurah Nengah Karangasem untuk mengirim pasukan, dan restu spiritual yang diperoleh Anglurah Ketut Karangasem adalah langkah strategis dalam memperkukuh mimpi besar. Menjadikan Lombok sebagai lumbung kekuasaan yang tak tergantikan.
Kita tidak boleh mengabaikan peran sentral mitos kupu-kupu kuning dalam legitimasi penaklukan ini. Visualisasi ribuan kupu-kupu kuning yang menyeberangi Selat Lombok seolah menjadi parade gaib yang menyambut masuknya peradaban Bali ke tanah Sasak. Ia bukan hanya pertanda yang dipurifikasi, tetapi semacam panji-panji spiritual yang memberi makna luhur pada ekspedisi kekuasaan. Dalam sistem budaya Bali, pertanda alam seperti ini menjadi alat penting untuk memperkuat narasi kebenaran. Restu leluhur mereka tidak boleh ditolak. Sebuah restu yang manifes melalui simbol kufu-kufu kuning.
Lombok kemudian dibayangkan sebagai pusat kekuasaan Bali yang sesungguhnya. Dari tanah inilah hasil bumi mengalir ke Karangasem, dari tanah ini pula para prajurit dan sistem pemerintahan Bali diperkuat dan dilestarikan. Beberapa sumber sejarah menyebut bahwa penguasaan atas Lombok membuat Karangasem menjadi kerajaan paling kuat dan berpengaruh di Bali, bahkan menyaingi Klungkung sebagai pusat kekuasaan simbolik.
Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kekuatan Bali di masa lampau sebagian besar bergantung pada kejayaannya di Lombok. Dari sinilah muncul semacam kepercayaan bahwa menguasai Lombok adalah segala yang terkait tentang simbol harga diri, lambang kejayaan, dan batu loncatan menuju supremasi regional. Terbukti. Karangasem Bali yang di Lombok menjadi salah satu pemain besar dalam perdagangan internasional.
Dalam logika ini, Lombok bukan hanya tanah jajahan. Ia menjadi tubuh kedua Bali, bahkan menjadi jantung bagi denyut nadi kekuasaan Karangasem. Legasi para raja tidak lagi semata-mata ditentukan oleh bangunan puri atau peninggalan candi, tetapi oleh sejauh mana mereka mampu menguasai, menaklukkan, dan mengatur kehidupan di tanah Sasak. Oleh karena itu, kontrol atas Lombok bukan sekadar soal pertahanan, tetapi soal identitas dan kehormatan. Kekuasaan atas Lombok adalah mahkota yang harus terus dijaga.
Namun, mitos dan sejarah jarang berdiri tanpa konsekuensi. Bagi sebagian masyarakat Sasak sendiri, penaklukan ini bukanlah sebuah ekspedisi suci, tetapi permulaan dari dominasi yang memarjinalkan kebudayaan mereka sendiri. Meskipun dalam babad dan narasi Bali digambarkan sebagai penyelamat atau pemersatu, kenyataan sosial politiknya menunjukkan adanya subordinasi budaya Sasak di bawah struktur kuasa Bali. Sistem pemerintahan lokal digantikan oleh pejabat-pejabat Bali. Bahasa Bali diresapkan ke dalam struktur administrasi dan keagamaan. Kesenian Bali dihibridasi secara mendalam ke kesenian orang Sasak. Temasuk sistem kosmologis. Bahkan sistem kasta pun diperkenalkan dalam masyarakat Sasak yang sebelumnya tidak mengenal sistem demikian secara tegas.
Ironisnya, hingga kini terdapat fragmentasi dalam masyarakat Sasak sendiri dalam memaknai masa lalu ini. Sebagian intelektual Sasak bahkan menolak menyebutnya sebagai penjajahan, melainkan sebagai akulturasi atau persaudaraan budaya. Pendekatan semacam ini, meskipun bernuansa akademik, seringkali mengaburkan realitas sejarah yang pahit. Bahwa Lombok pernah dijadikan tanah eksploitasi untuk kemegahan Bali. Bahwa sumber daya, tenaga, bahkan identitas lokal dirancang ulang demi memenuhi struktur kekuasaan yang datang dari seberang selat.
Sementara orang Sasak terpecah dalam memaknai sejarah mereka sendiri dalam penguasan Bali sekitar 150 tahun. Bali justru menjadikan penaklukan ini sebagai warisan kemuliaan. Mitos kupu-kupu kuning terus dihidupkan dan disakralkan. Buku seperti Kupu-Kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok karya Anak Agung Ketut Agung, memperkuat narasi bahwa penaklukan tersebut adalah hasil dari berkah spiritual. Bukan semata-mata dominasi kekuasaan. Narasi ini dilegitimasi lagi dengan seni pertunjukan. Salah satu contoh yang menonjol adalah tari kreasi Bala Maya karya I Wayan Wira Arimbawa yang menggambarkan laskar Karangasem sebagai prajurit sakti jelmaan kupu-kupu kuning. Sekejap tampak dan sekejap menghilang. Penuh wibawa dan tak terkalahkan.
Karya tari lain yang tak kalah penting adalah Kupu-Kupu Kuning Angarung Samudra dengan koreografer Ayu Kusuma Arini, yang pernah dipentaskan di Amerika. Pertunjukan ini bukan hanya menampilkan kekuatan mitos sebagai estetika pertunjukan, tetapi juga memperkuat citra Bali sebagai kekuatan spiritual dan budaya yang adiluhung. Di atas panggung tari, lukisan-lukisan karya seniman Bali seperti Djelantik turut mengabadikan imaji kekuasaan Bali atas Lombok. Semua ini menunjukkan bahwa Bali tidak hanya menguasai Lombok secara fisik, tetapi juga secara simbolik dan kultural, melalui produksi pengetahuan dan estetika yang sangat terstruktur.
Mitos kupu-kupu kuning dalam hal ini menjadi cermin bagaimana sejarah dapat dikonstruksi bukan hanya untuk mengingat, tetapi untuk melupakan. Dengan menjadikan penaklukan sebagai misi suci, para raja Karangasem menciptakan narasi besar yang menutupi wajah kolonialisme mereka. Kupu-kupu itu tidak hanya menjadi penunjuk jalan, tetapi juga menjadi tirai yang menyamarkan kepentingan politis sebagai kehendak spiritual. Bahkan ketika sejarah dicoba ditulis ulang, mitos tetap mengendap dalam kesadaran kolektif dan sulit dibongkar karena ia telah menjadi bagian dari identitas budaya itu sendiri.
Dalam kenyataannya, kuasa atas Lombok terus direproduksi melalui mitos dan seni, sementara narasi tandingan dari Lombok sendiri nyaris tak terdengar. Orang Sasak lebih sering diam, atau bahkan tidak menyadari struktur hegemonik yang membungkus sejarah mereka. Ketakutan untuk menyebut penjajahan Karangasem Bali sebagai penjajahan adalah bentuk kekalahan naratif yang paling menyakitkan. Narasi hegemonik Bali tidak hanya berhasil mengukuhkan kekuasaan atas Lombok di masa lalu, tetapi juga membentuk cara pandang masyarakat Lombok hari ini tentang siapa diri mereka, dan siapa yang layak berkuasa.
Karena itu, bagi saya atau lebih tegasnya adalah sikap saya adalah tidak ada keraguan bahwa Lombok adalah pusat dari supremasi kekuasaan Bali. Ia bukan sekadar tanah jajahan dalam pengertian teritorial, melainkan simbol kejayaan dan kekuatan spiritual yang menghidupi mitologi Bali hingga hari ini.
Sementara orang Sasak terus dibayangi ketakutan dan keterpecahan dalam membaca sejarah mereka. Kurang berdaya dan tidak utuh memproduksi kekayaan mitos sebagai daya ungkit peradaban dan kehormatan sebagai bangsa. Bali telah menjadikan narasi penaklukan Lombok pada tahun 1692 M itu sebagai legasi budaya dan sejarah yang terus hidup lalu diwariskan.***
Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media
Malaysia, 15 Mei 2025
Penulis : Dr. Salman Faris