Oleh: Salman Faris
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan saya yang berjudul Guru Ukit: Pelabuhan Batin Kaum Sasak Subaltern. Karena tulisan itu banyak direspons dari berbagai perspektif, termasuk oleh Bung Laduni dan teman-teman di Jakarta yang membincangkan serius isu Sasak yang sangat elementer pada masa-masa ini.
Di masa lalu, masyarakat Sasak mengenal praktik keagamaan yang cair, mengakar-rumput dan egaliter. Para guru agama tidak menetap di satu tempat, tidak memiliki bangunan pesantren, dan tidak bernaung di bawah institusi formal. Mereka berkeliling dari kampung ke kampung, tinggal di rumah-rumah warga, mengajar agama dengan metode ngamari, baik di rumah warga, di halaman, di bawah pohon, di ladang, di pasar dan di area publik yang komunal. Bagi mereka, ajaran Islam bukanlah sesuatu yang hanya bisa diajarkan dalam ruang kelas atau di dalam pagar pesantren, di perguruan tinggi, tetapi sesuatu yang hidup dalam percakapan sehari-hari, menggunakan bahasa ibu dari segala jenis dan lapisan bahasa yang dikomunikasikan secara erat-penuh keakraban.
Tuan Guru Lopan, misalnya dikenal sebagai ulama kharismatik di Lombok yang menggunakan metode dakwah berbasis mobilitas dan pendekatan langsung kepada masyarakat. Berbeda dengan sistem pengajaran agama yang mengandalkan institusi tetap, Tuan Guru Lopan mengajarkan Islam dengan metode ngamari, yaitu berpindah dari satu kampung ke kampung lain, tinggal di rumah-rumah warga, dan memberikan pengajian dalam interaksi sehari-hari. Metode ini memungkinkan ajaran Islam disampaikan dalam konteks kehidupan nyata, di mana agama tidak hanya dipelajari secara teori-teks tetapi juga diamalkan dalam praktik sosial masyarakat. Dengan cara ini, dakwah menjadi lebih dekat dengan umat dan lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan.
Pendekatan dakwah Tuan Guru Lopan bersifat fleksibel dan inklusif, menyesuaikan diri dengan kondisi sosial masyarakat setempat. Clifford Geertz dalam Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia (1968) menekankan bahwa agama bukan hanya sistem doktrin, tetapi juga praktik sosial yang berkembang dalam budaya lokal. Metode ngamari mencerminkan prinsip ini dengan menjadikan pengajaran agama sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sesuatu yang terpisah dari aktivitas sosial. Interaksi langsung antara Tuan Guru Lopan dan masyarakat memperkuat penyebaran Islam secara organik, menciptakan pemahaman agama yang lebih kontekstual dan dekat dengan realitas sosial.
Perjalanan dakwah yang tidak terikat pada satu tempat memungkinkan ajaran Islam menyebar lebih luas tanpa batasan struktural. Termasuk TGH Mutawalli Jerowaru mampu menyesuaikan metode pengajarannya dengan kebutuhan dan pemahaman masyarakat yang ditemuinya, sehingga Islam berkembang sebagai bagian dari dinamika sosial yang hidup. Model dakwah ini menunjukkan bahwa fleksibilitas dalam menyampaikan ajaran agama dapat meningkatkan penerimaan dan keterlibatan masyarakat. Selain dalam bidang pendidikan, TGH Mutawalli Jerowaru juga dikenal atas perannya dalam membangun infrastruktur masyarakat Sasak yang terpinggirkan, seperti jalan, bendungan, dan jembatan dengan modal swadaya. Metode ini menjadi cerminan bagaimana ajaran Islam dapat menyatu dengan kehidupan sosial tanpa kehilangan esensi spiritualnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, sistem ini mulai berubah. Pendirian pondok pesantren menjadi simbol baru dalam dunia keagamaan Sasak. Para pemuka agama baru mulai mendirikan lembaga tetap, memiliki murid-murid yang tinggal dalam asrama, dan membentuk institusi yang lebih terstruktur. Para Tuan Guru yang memiliki pesantren secara otomatis mendapatkan otoritas lebih dibanding mereka yang tidak. Gelar “Tuan Guru” menjadi lebih dari sekadar sebutan bagi mereka yang alim dalam agama, tetapi juga menjadi penanda status sosial dan kekuasaan spiritual.
Max Weber dalam The Sociology of Religion (1922) menjelaskan bagaimana rasionalisasi agama dapat mengarah pada birokratisasi otoritas keagamaan. Dalam konteks Lombok, perubahan dari metode ngamari dan advoaksi guru agama ke sistem pesantren mencerminkan proses ini. Agama yang sebelumnya lebih cair dan bersifat pengalaman sehari-hari, kini terikat dalam struktur yang lebih formal, di mana pengajaran dan praktik keagamaan semakin berpusat pada institusi tertentu. Jika dahulu hubungan antara guru dan murid bersifat langsung dan personal, kini pesantren membentuk batas-batas yang lebih jelas, menciptakan hierarki yang mengubah dinamika sosial masyarakat Sasak.
Pesantren secara simbolik melahirkan elite baru dalam agama yang semakin meninggikan jurang antara masyarakat bawah dengan para elite baru tersebut. Dengan keelitan yang dimiliki, secara perlahan terbentuk hierarki kuasa yang cenderung menjadikan pesantren sebagai arena politik. Dalam kondisi ini, agama tidak hanya menjadi sarana spiritual, tetapi juga alat legitimasi yang dapat digunakan untuk memperkuat dominasi kelompok elite atas masyarakat luas melalui konsensus yang dibangun secara sistemik.
Talal Asad dalam Genealogies of Religion (1993) mengkritisi bagaimana agama dalam konteks modern sering kali dikonstruksi melalui perangkat hukum dan institusi yang membentuk cara masyarakat memahami dan mempraktikkan iman mereka. Di Lombok, formalisasi agama yang berkembang melalui sistem pesantren dan perguruan tinggi mengubah cara masyarakat Sasak berinteraksi dengan ajaran Islam. Jika dulu Islam dipelajari secara organik dalam kehidupan sehari-hari, kini ia menjadi sesuatu yang harus dipelajari dalam struktur yang lebih formal dan sistematis.
Formalisasi agama membawa berbagai dampak. Di satu sisi, ia memberikan stabilitas dan struktur kuat dalam pendidikan Islam, memastikan bahwa ajaran agama diajarkan secara sistematis dan berkelanjutan. Tetapi di sisi lain, ia juga menciptakan batas-batas sosial yang lebih tajam. Tidak hanya itu, infrastruktur keagamaan di Lombok menjelma menjadi mercusuar yang gemilang, mencerminkan citra Lombok sebagai salah satu pusat perkembangan Islam yang pesat di Indonesia. Hampir setiap kecamatan, bahkan kampung besar, memiliki pondok pesantren yang terus berkembang. Masjid-masjid megah dengan arsitektur menjulang tinggi dan biaya pembangunan yang tidak sedikit berdiri di setiap kampung, seakan menjadi simbol kejayaan spiritual. Para tuan guru tak terbilang jumlahnya, masing-masing kampung memiliki sosok panutan agama yang dihormati. Kaum terpelajar agama juga semakin banyak, menghasilkan generasi yang terdidik dalam tradisi keislaman yang kuat. Dengan arus formalisasi ini, Lombok tidak lagi gelap dalam pengetahuan keagamaan, tetapi telah berubah menjadi pulau yang disinari oleh lautan cahaya agama.
Namun, di balik cahaya yang gemerlap itu, batas sosial semakin meruncing. Simbol-simbol keagamaan tidak lagi sekadar menjadi sarana ibadah, tetapi juga alat kompetisi yang memperkuat pembelahan sosial. Kampung yang satu berlomba dengan kampung lain dalam mendirikan masjid yang lebih megah, lebih besar, lebih mencolok. Kebanggaan terhadap simbol keagamaan yang dahulu menjadi lambang persatuan, kini berbalik menjadi pemicu persaingan. Tuan guru dari satu kampung tidak jarang terlibat dalam ketegangan diam-diam dengan tuan guru dari kampung lain, memperjuangkan pengaruh dan pengikutnya masing-masing. Konflik yang awalnya bersifat personal dan terbatas dalam lingkup kecil kemudian merembet ke ranah yang lebih luas, menciptakan ketegangan laten antara organisasi keagamaan yang sulit untuk didamaikan secara tuntas.
Dinamika ini menunjukkan bagaimana formalisasi agama, meski membawa kemajuan dalam aspek pendidikan dan infrastruktur keagamaan, juga menghasilkan segregasi sosial yang semakin tajam. Agama yang sejatinya menjadi perekat sosial, penyemai kebahagiaan komunitas sosial, pelonggar ketegangan sosial, pelipur kemelaratan ekonomi orang Sasak, justru dalam bentuk yang lebih terstruktur dan terlembaga dapat melahirkan eksklusivitas dan fragmentasi.
Ketika agama menjadi bagian dari struktur sosial yang hierarkis, ia tidak lagi hanya menjadi sarana spiritual, tetapi juga menjadi alat kontrol sosial. Émile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912) menjelaskan bahwa agama memiliki dua sisi: sebagai kekuatan yang menyatukan masyarakat dan sebagai mekanisme kontrol yang dapat menciptakan eksklusi. Di Lombok, perubahan ini menciptakan dinamika baru di mana kelompok-kelompok keagamaan mulai membangun batas-batas yang lebih ketat, memisahkan (kami) dari (mereka), menciptakan persaingan antar kelompok, persinggungan antar ormas, dan dalam beberapa kasus terendus memperburuk ketegangan sosial.
Semakin agama dilembagakan, semakin ia kehilangan fleksibilitasnya. Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975) menunjukkan bagaimana institusi membentuk individu melalui sistem disiplin dan kontrol. Dalam konteks pesantren di Lombok, struktur hierarkis dan aturan ketat membentuk pola pikir dan perilaku santri, menciptakan norma-norma yang harus diikuti. Tetapi dalam proses ini, ruang bagi ekspresi spiritual yang lebih bebas semakin sempit. Jika dahulu para Tuan Guru ngamari memiliki kebebasan untuk mengajar dengan pendekatan yang fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kini pesantren menciptakan standar tertentu yang harus diikuti.
Ketika agama menjadi semakin formal, ia juga semakin rentan terhadap eksploitasi politik. Jose Casanova dalam Public Religions in the Modern World (1994) menunjukkan bahwa ketika agama masuk ke dalam ruang publik dalam bentuk yang terlalu formal, ia sering kali kehilangan daya spiritualnya dan berubah menjadi alat politik. Di Lombok, formalisasi agama telah memberi pengaruh besar kepada para Tuan Guru yang memiliki pesantren dan melekat pada ormas tertentu. Mereka bukan hanya sekadar pemimpin spiritual, tetapi juga memiliki pengaruh dalam politik. Hubungan antara pesantren dan kekuasaan menjadi semakin erat, dan dalam banyak kasus, agama digunakan sebagai alat untuk memperkuat posisi politik dan ekonomi kelompok tertentu.
Di tengah semua perubahan ini, Sasak kehilangan figur-figur spiritual yang cair, mereka yang tidak terikat pada institusi, tetapi tetap memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Jika dahulu para Tuan Guru ngamari seperti Tuan Guru Lopan dan TGH Mutawalli Jerowaru bisa bergerak bebas dan mengajar tanpa batasan formal, kini figur-figur seperti mereka semakin sulit ditemukan. Agama yang dahulu hadir secara organik dalam kehidupan masyarakat Sasak kini menjadi bagian dari institusi yang memiliki aturan dan batasan yang lebih ketat.
Realitas paling genting dalam masyarakat Sasak bukan hanya kehilangan guru agama yang ngamari, tetapi juga kehilangan figur-figur tengah, mereka yang bisa berdiri di antara semua golongan tanpa terperangkap dalam sekat-sekat eksklusivitas. Sasak bukan lagi entitas yang bernafas sebagai bangsa, tetapi semakin larut dalam konstruksi sosial yang terkotak-kotak: terpecah ke dalam kelompok Tuan Guru A dan Tuan Guru B, terseret ke dalam kamar-kamar organisasi keagamaan yang berseberangan. Tidak ada lagi tokoh agama yang melintas batas, yang bergerak dari kampung ke kampung tanpa membawa bendera ponpes, masjid, kelompok dan ormas apa pun, menyentuh realitas masyarakat Sasak yang miskin, mengangkat semangat mereka untuk bertahan hidup dalam akidah Islam meski dalam situasi sepekat apa pun.
Jika dahulu Tuan Guru Lopan hadir sebagai guru agama yang merakyat, mendekati mereka yang terpinggirkan, menyentuh Sasak yang terbaikan, mengayomi Sasak bodoh dan jauh dari Muhammad, kini figur semacam itu semakin menghilang, tergantikan oleh tokoh agama yang kian eksklusif, berilmu tinggi, berlatar belakang pendidikan formal yang mapan. Tokoh agama yang dipuja dan dihormati secara berlebihan oleh jamaahnya. Tokoh agama yang kehilangan akses terhadap denyut kehidupan akar rumput masyarakat Sasak yang tersembunyi di kampung-kampung, ditutupi oleh suara speaker melaung-laung dari menara masjid yang megah.
Krisis ini semakin nyata ketika institusi pesantren yang asasnya sebagai pusat ilmu dan kebijaksanaan kini juga menciptakan elitisme agama. Guru agama yang dulunya hadir untuk mengayomi semua lapisan masyarakat dari maling hingga ahli ibadah, dari jilbaber hingga mereka yang masih bergelut dalam kemaksiatan, dari Sasak yang pintar hingga mereka yang buta huruf, dari Sasak yang beraroma wangi hingga mereka yang masih embeng bais kini semakin sulit ditemukan.
Figur guru yang menjauh dari politik kuasa, yang melihat Sasak sebagai bangsa yang mesti diselamatkan dari kemiskinan dan keterjajahan, semakin kerontang oleh dinamika keagamaan yang semakin berorientasi pada dominasi kuasa dan pengaruh politik. Inilah kenyataan genting yang dihadapi Sasak, di tengah semakin banyaknya tokoh agama yang lahir dari pesantren dan perguruan tinggi, tetapi justru kian terkotak dalam bingkai yang membatasi kebersamaan sebagai satu bangsa.
Kegentingan tersebut tentu saja menjadi ancaman yang sangat serius di tengah peradaban agama di Lombok yang semakin menjulang sebagai buah dari formalisasi agama. Di balik semua kemajuan yang tampak megah, benih-benih keterbelahan dalam masyarakat Sasak semakin tumbuh subur, hanya menunggu waktu untuk dipanen dalam era kekacauan sosial yang memprihatinkan. Situasi ini, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, sebenarnya telah berlangsung setiap hari di berbagai tempat di Lombok, menjelma dalam ketegangan sosial yang senyap tetapi nyata. Jika tidak diberikan perhatian yang serius oleh orang Sasak sendiri, perpecahan ini bukan sekadar ancaman, tetapi dapat menjadi arus deras yang menggerus Sasak sebagai sebuah bangsa, mencabut akar kebersamaan yang telah lama mengikat mereka dalam satu entitas kultural yang dibangun sejak era Selaparang Islam.
Oleh kerana itu, kecemerlangan formalisme agama dalam membangun infrastruktur keagamaan wajiblah diiringi dengan suprastruktur yang tetap berpijak pada realitas sosial yang membumi. Keberhasilan membangun masjid yang megah, pesantren yang menjulang, dan melahirkan semakin banyak tokoh agama, tidak seharusnya mencabut Sasak dari akar mereka sendiri. Justru, yang diperlukan adalah keseimbangan antara kemajuan dan keluwesan sosial, agar agama tidak sekadar menjadi simbol kejayaan materialistik, tetapi tetap menjadi ruh yang mempersatukan dan mengayomi seluruh lapisan masyarakat Sasak tanpa sekat apa pun jua.
Persoalannya, apakah akan ada lagi figur penengah di kalangan masyarakat Sasak?
Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media
Malaysia, Bulan Puasa 2025.
Penulis : Dr. Salman Faris