Oleh: Ariady Achmad
Kita tidak boleh menganggap feodalisme sekadar peninggalan sejarah. Ia masih hidup dalam cara kita berpikir, berbicara, dan bertindak. Sistem sosial-politik modern menyamarkannya dalam bentuk yang lebih halus namun tetap menekan: relasi kuasa yang kaku, budaya sungkan yang membungkam kritik, dan bahasa eufemistik yang mengaburkan kenyataan.
Birokrasi dan kehidupan politik kita terus mengulangi pola ini. Mereka memandang kritik sebagai ancaman. Mereka menganggap ketundukan sebagai kesetiaan. Mereka menjadikan sopan santun tameng untuk menghindar dari tanggung jawab. Bahkan, mereka sering menyebut korupsi sekadar “kelalaian administratif”.
Di ruang publik, kita masih mendengar pejabat lebih memilih istilah “kurang optimal” daripada mengakui kegagalan. Mereka menyebut penyimpangan sebagai “kesalahan prosedur”. Padahal, kita membutuhkan keterusterangan—keberanian menyebut salah sebagai salah.
Feodalisme semacam ini tidak hanya melanggengkan ketimpangan, tetapi juga melumpuhkan keberanian. Ia membuat pejabat merasa kebal terhadap kritik dan membuat rakyat ragu bersuara. Lama-kelamaan, ini menciptakan lingkungan yang permisif terhadap korupsi dan manipulasi kekuasaan.
Kini saatnya kita menegaskan arah baru: membangun kehidupan bernegara yang berpijak pada kesetaraan, transparansi, dan integritas.
Bangsa yang sehat tidak lahir dari kepatuhan membuta, melainkan dari partisipasi aktif seluruh warganya. Demokrasi sejati menempatkan semua orang setara di hadapan hukum dan dalam ruang publik. Negara hukum tidak mengenal kasta. Jabatan bukan kehormatan untuk disembah, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks ini, kejujuran harus menjadi nilai utama. Ia bukan sekadar sikap pribadi, melainkan fondasi tata kelola negara. Tanpa kejujuran, hukum berubah menjadi alat kekuasaan. Tanpa kejujuran, transparansi kehilangan makna. Tanpa kejujuran, pengawasan tidak akan pernah efektif.
Kita membutuhkan pemimpin yang bersedia menerima kritik dan rakyat yang berani mengoreksi. Kritik bukan penghinaan, melainkan bentuk cinta pada negara. Keterusterangan bukan pemberontakan, melainkan sumbangsih untuk perbaikan.
Menolak feodalisme berarti menolak kepalsuan. Kita harus berhenti menutupi kebenaran demi gengsi atau hierarki. Kita harus mengembalikan ruang publik sebagai tempat kejujuran dan akal sehat. Kita harus menciptakan iklim di mana keberanian bersuara lebih dihargai daripada kesediaan menjilat.
Perubahan tidak akan datang hanya dari reformasi kebijakan. Ia harus tumbuh dari keberanian moral dan kesadaran bersama bahwa negara ini milik semua, bukan hanya milik penguasa. Dan semua itu bermula dari satu sikap paling mendasar: kejujuran.
Penulis : Ariady Achmad