Oleh: Salman Faris
Dalam dunia pendidikan tinggi keagamaan Islam di Indonesia, institusi bukanlah ruang netral yang steril dari dinamika kuasa dan politik. UIN Mataram sebagai salah satu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) bukan pengecualian dari gejala tersebut. Dalam pusaran birokrasi yang menyeberang antara regulasi, etika akademik, dan pengaruh kekuasaan pusat, posisi rektor bukan sekadar jabatan administratif, tetapi merupakan titik simpul dari relasi sosial, politik, dan simbolik. Dalam konteks inilah, figur Prof. Dr. TGH. Masnun Tahir (selanjutnya ditulis Masnun) berdiri bukan hanya sebagai incumbent, tetapi sebagai simbol perlawanan terhadap mitos yang selama ini melekat dalam sejarah institusi yaitu tidak pernah ada rektor UIN Mataram yang menjabat dua periode secara beruntun (harap saya tidak salah). Mitos ini bukan sekadar fenomena empiris yang bersifat kebetulan, melainkan telah menjadi struktur simbolik yang menentukan harapan, strategi, dan tafsir atas realitas suksesi di lingkungan kampus. Maka, pertarungan Masnun dalam kontestasi kali ini adalah perjuangan menggugat mitos, menggoyang struktur, dan membalik hegemoni kuasa yang telah terlembaga.
Untuk memahami dinamika ini, kita perlu bergerak melampaui narasi personal dan menyusuri struktur kekuasaan yang membentuk arena pemilihan rektor. Di balik proses seleksi yang tampak formal yang berdasarkan penilaian kinerja, dukungan senat, dan masukan masyarakat kampus, tersimpan jaringan relasi patronal yang menjalar hingga ke pusat kekuasaan di Jakarta. Dalam sistem ini, suara menteri bukan hanya satu dari sekian variabel, melainkan menjadi variabel dominan yang menentukan hasil akhir. Suara pusat ini mewakili dimensi kekuasaan yang bersifat hierarkis dan sering kali melampaui suara arus bawah. Maka tidak mengherankan bila suara senat kampus, sebanyak apa pun, bisa terpinggirkan manakala patron di pusat memutuskan sebaliknya. Apalagi dalam suksesi UIN Mataram kali ini, suara sepenuhnya ialah pusat. Dalam bahasa politik, ini adalah wujud nyata dari patronase, di mana relasi personal dan loyalitas politik menjadi penentu karier birokratik. Relasi inilah yang dalam banyak kasus menegaskan bahwa meritokrasi masih merupakan wacana ideal yang belum menemukan tubuhnya secara konkret dalam ruang pendidikan Islam negeri.
Masnun, dalam konteks ini, menghadapi realitas yang paradoksal. Di satu sisi, ia memiliki legitimasi kuat sebagai rektor petahana. Di bawah kepemimpinannya, UIN Mataram mengalami sejumlah kemajuan signifikan. Dari penguatan kelembagaan, peningkatan kualitas akademik, hingga pengelolaan anggaran dan kerjasama strategik, termasuk internasionalaisasi UIN. Dapat dikatakan bahwa marwah UIN Mataram meningkat tajam menjulang di tangan dingin Masnun. Capaian Masnun bukan sekadar angka-angka, tetapi jejak konkret dari kepemimpinan yang visioner dan terukur. Ia membawa citra positif yang menyegarkan dalam atmosfer PTKIN yang kerap terjebak dalam stagnasi birokratik. Namun, semua itu tidak serta-merta menjadi jaminan akan keberlanjutan kepemimpinan. Keberhasilannya justru menantang struktur patronal yang terbiasa dengan mobilitas jabatan sebagai bentuk rotasi kekuasaan. Dalam struktur seperti ini, keberlanjutan sering kali dibaca sebagai bentuk dominasi yang harus segera dibatasi, bukan sebagai kesinambungan yang patut dirayakan.
Inilah yang disebut Pierre Bourdieu sebagai arena kekuasaan, di mana berbagai bentuk modal berkompetisi untuk menentukan siapa yang layak berkuasa. Dalam arena ini, modal ekonomi mungkin tidak dominan, tetapi modal simbolik dan modal sosial memainkan peran sentral. Masnun memiliki modal simbolik yang kuat seperti kinerja yang terbukti, kepercayaan komunitas kampus, dan posisi sebagai incumbent. Namun, pesaingnya datang dengan modal sosial dan kultural yang tak kalah kuat yaitu jaringan politik, kedekatan dengan tokoh kunci di pusat, dan afiliasi kultural-religius yang mengakar. Dalam kondisi seperti ini, pertarungan tidak lagi bersifat teknokratik atau akademik, tetapi merupakan kontestasi penuh antara dua bentuk dominasi simbolik yang sama-sama sahih dalam arena kekuasaan.
Namun yang menjadikan pertarungan ini lebih kompleks adalah hadirnya mitos institusional yang selama ini tidak pernah ditantang secara serius. Ketidakterpilihan rektor dua periode sebelumnya bukan semata akibat kekurangan kompetensi, tetapi bagian dari struktur simbolik yang menganggap bahwa jabatan dua periode sebagai sesuatu yang tabu atau bahkan tidak layak. Dalam mitos ini, pergantian adalah keharusan, dan keberlanjutan adalah deviasi. Maka siapapun yang mencoba bertahan, meskipun dengan legitimasi yang kuat, akan berhadapan dengan resistensi sistemik yang tidak kasat mata, tetapi bekerja melalui wacana, tafsir, dan sinyal-sinyal kekuasaan. Masnun dalam konteks ini bukan sekadar berkompetisi untuk mempertahankan jabatan, tetapi melawan narasi dominan yang mengekalkan diskontinuitas sebagai bentuk kewajaran.
Pertanyaannya kemudian, apakah Masnun memiliki kekuatan untuk melawan struktur ini? Secara empirik, ia menghadapi tantangan besar. Relasi kuasanya dengan pusat menjadi tanda tanya setelah adanya pergantian menteri. Dalam sistem patronase, relasi personal dan kedekatan ideologis dengan elit kementerian adalah kunci. Ketika patron berubah, posisi klien pun bisa goyah. Dalam kerangka ini, kekuatan simbolik Masnun sebagai pemimpin yang sukses bisa saja dikalahkan oleh kekuatan simbolik lain yang lebih dekat secara relasional dengan otoritas pusat. Di sinilah letak ketegangan yang paling tajam yaitu antara kinerja dan kedekatan, antara legitimasi simbolik dan patronase politik. Kontestasi ini menjadi gambaran konkret dari krisis epistemik dalam sistem birokrasi pendidikan Islam di Indonesia, di mana keberhasilan belum tentu identik dengan keberlangsungan.
Namun, justru dalam ketegangan inilah Masnun menciptakan makna perlawanan. Ia tidak mundur menghadapi mitos. Ia hadir sebagai figur yang mengafirmasi bahwa mitos hanya bisa dihancurkan dari dalam sistem, dengan menunjukkan bahwa keberhasilan itu layak untuk dilanjutkan. Dalam konteks Bourdieu, ini adalah upaya mengubah struktur arena dari dalam dengan menggunakan modal yang sah dan diakui oleh sistem itu sendiri. Ia tidak mengambil jalan oposisi luar sistem, tetapi jalan transformasi dari dalam. Perjuangannya menjadi bentuk perlawanan simbolik terhadap struktur hegemonik yang telah lama bekerja tanpa pernah dikritisi secara mendalam. Ia berupaya membalikkan struktur nilai yang selama ini memaknai keberlanjutan sebagai bentuk penyimpangan menjadi wacana baru yang melihat keberlanjutan sebagai bentuk kematangan institusi.
Masnun melawan bukan dengan jargon politik atau retorika kosong, tetapi dengan rekam jejak yang nyata. Ia tidak datang menawarkan harapan kosong, tetapi mempertaruhkan bukti atas performa. Namun justru karena itu ia berada dalam posisi yang rumit. Dalam struktur yang telah terbiasa dengan kompromi, transparansi bisa menjadi ancaman. Dalam sistem yang telah terlembaga dengan patronase, independensi bisa dipandang sebagai bentuk pengingkaran. Masnun berada di antara dua kutub, pertama sebagai simbol keberhasilan institusional yang menjadi harapan warga kampus, dan juga sekaligus sebagai ancaman terhadap struktur informal yang selama ini mengatur peredaran kekuasaan. Di titik ini, ia sedang membongkar mitos bukan dengan kekuatan retoris, tetapi dengan eksistensi simboliknya sebagai pemimpin yang bertahan dan sangat layak melanjutkan.
Dalam dinamika ini, Masnun tidak hanya menghadapi lawan secara individual, tetapi juga menghadapi struktur. Ia melawan kebiasaan yang telah disublimasi menjadi mitos. Ia menantang struktur kultural yang telah dianggap wajar meskipun tak pernah dirumuskan secara eksplisit. Maka pertarungan ini adalah pertarungan naratif antara narasi lama yang mengatakan bahwa dua periode itu tidak mungkin dan narasi baru yang ingin membuktikan bahwa itu bukan hanya mungkin, tetapi justru diperlukan demi konsistensi dan keberlanjutan pembangunan institusi. Dalam pertarungan ini, Masnun tidak hanya sedang mencoba menang secara elegan, tetapi juga sedang menciptakan preseden baru dalam sejarah UIN Mataram. Jika berhasil, maka kemenangan itu bukan hanya kemenangan personal, tetapi kemenangan atas struktur simbolik yang selama ini mengekang.
Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata bahwa pesaing Masnun pun bukan tanpa kekuatan. Mereka membawa serta jaringan luas, dukungan politik tertentu, dan posisi simbolik dalam komunitas religius yang kuat. Ini menunjukkan bahwa kontestasi ini berada dalam medan kekuasaan yang kompleks, di mana kekuatan tidak bersumber dari satu pusat, tetapi dari berbagai titik politik, kultural, keagamaan, dan akademik. Namun inilah yang menjadikan pertarungan Masnun memiliki nilai simbolik yang besar. Ia tidak melawan satu individu, tetapi keseluruhan sistem nilai yang telah menormalisasi siklus kekuasaan tanpa keberlanjutan. Ia hadir sebagai gangguan terhadap stabilitas semu yang selama ini dijaga oleh kompromi simbolik antar elit.
Dalam catatan sejarah PTKIN di Indonesia, pertarungan seperti ini sering kali diakhiri oleh keputusan pusat yang tidak selalu sejalan dengan aspirasi lokal. Maka peluang kekalahan Masnun bukan tidak mungkin. Tetapi bahkan dalam kekalahan, ia akan meninggalkan jejak perlawanan yang penting. Ia telah menunjukkan bahwa mitos bisa dilawan. Bahwa struktur bisa digugat. Bahwa kepemimpinan tidak harus tunduk pada patronase. Ia menanamkan kesadaran bahwa keberhasilan institusional harus memiliki kontinuitas. Kesadaran bahwa jabatan bukanlah hasil transaksi, tetapi hasil legitimasi yang diperoleh melalui kerja keras dan kepercayaan kolektif. Dalam konteks ini, Masnun telah menang secara simbolik, bahkan sebelum hasil akhir diumumkan.
Saya tidak ingin membela Masnun sebagai individu, tetapi ingin menempatkan perjuangannya dalam kerangka yang lebih besar yakni pertarungan melawan struktur simbolik yang membentuk politik pendidikan Islam di Indonesia. Dalam struktur ini, suara kampus sering kali dibungkam oleh suara pusat. Kinerja sering kali dikalahkan oleh kedekatan. Maka, perjuangan Masnun adalah perjuangan untuk membalik logika itu. Ia berusaha menegaskan bahwa kampus bukan sekadar satelit birokrasi pusat, tetapi ruang otonom yang harus diberi tempat untuk menentukan arah kepemimpinannya sendiri. Ia ingin memulihkan makna akademia sebagai ruang rasionalitas dan meritokrasi, bukan ruang kompromi politik dan pertimbangan patronal.
Masnun melawan bukan hanya demi kursi rektor, tetapi demi nilai yang lebih dalam. Bahwa jabatan harus menjadi kelanjutan dari legitimasi kinerja, bukan sekadar hasil dari negosiasi kuasa. Ia menghadirkan harapan bahwa sistem bisa berubah. Bahwa mitos bisa dikalahkan. Bahwa masa depan kampus bisa ditentukan oleh komunitasnya sendiri. Dalam dunia yang sering kali sinis terhadap perubahan, kehadiran tokoh seperti Masnun memberi ruang bagi imajinasi baru tentang kepemimpinan akademik. Kepemimpinan yang tidak tunduk pada takdir simbolik, tetapi menciptakan takdir baru melalui kerja, dedikasi, dan keberanian menggugat struktur yang selama ini membatasi.
Dan jika sejarah berpihak padanya, maka nama Masnun pasti dikenang bukan sekadar sebagai rektor UIN Mataram pertama yang memimpin dua periode secara beruntun, tetapi sebagai figur yang menandai titik balik dalam sejarah UIN Mataram yakni saat mitos runtuh dan kesadaran institusional bangkit. Jika pun tidak, maka esensinya tetap utuh. Melawan struktur adalah keharusan moral ketika mitos mulai menjelma menjadi norma yang menindas. Dalam dunia akademik yang seharusnya menjunjung nalar dan integritas, perjuangan Masnun semacam itu bukan hanya penting. Ia mutlak diperlukan.
Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media
Penulis : Dr. Salman Faris
Sumber Berita : Opini