“Sepanjang kemiskinan masih menggerogoti orang Sasak, sederetan itu juga tak akan pernah habis cerita yang bersumber kan kemiskinan itu,”
Oleh : Salman Faris
Jika merujuk kepada sejarah panjang mereka melawan kemiskinan sampai era terkini, kesimpulan awal dapat diberikan bahwa orang Sasak tidak akan berhasil melawan kemiskinan. Majunya Lombok berbanding terbalik dengan kemiskinan orang Sasak yang terus melipat-lipat.
Nah, tulisan ini berdasarkan kemiskinan tersebut. Meski ada hubungan dengan soal nilai, paham salah, budaya dan tingkah laku yang dianut orang Sasak, namun pada dasarnya sumber masalah terbesar orang Sasak ialah secara kemiskinan. Satu bangsa yang tidak pernah makmur kolektif. Ada orang Sasak yang kaya dan sedikit berkuasa, namun hanya segelintir dari lautan orang Sasak miskin, dan inilah yang mewarnai Sasak sejak detik pertama pembentukan sejarah Sasak itu. Miskin, kaya namun tidak kaya raya, berkuasa tetapi tidak berkuasa sepenuhnya.
Lantas bagaimana ceritanya? tiga minggu yang lalu, saya kedatangan salah seorang keluarga. Dia alumnus salah satu perguruan tinggi negeri, sempat mengambil sekolah pascasarjana di Jawa, namun tidak diteruskan. Tentu saja dia datang sebagai seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI), sekurang-kurangnya dia sudah meniatkan diri untuk itu.
Sejujurnya, sejak detik pertama saya melihat matanya, segala cerita kemelaratan seolah mendesir kembali di kepala saya. Begitulah yang selalu saya alami setiap menjemput keluarga ke Bandara Internasional Kuala Lumpur yang datang untuk menjadi TKI di Malaysia. Kesimpulan utama ialah, kemsikinan sebagai sebab pertama mereka menginjakkan kaki sebagai manusia kelas bawah di Malaysia.
Sebenarnya, saya sudah sedikit mendengar latar belakang kenapa dia harus ke Malaysia. Namun sepanjang perjalanan, saya tidak banyak menyentuh perkara itu. Saya bergelut dengan memori kelam kemiskinan saya dan orang Sasak. Dia pun entah berpikir apa. Yang pasti, dia datang penuh harapan sebab di Lombok tak ada harapan hidup untuk melunasi hutang. Lombok kini hanya untuk orang kaya, orang Sasak miskin harus menyingkir untuk mencari penghidupan.
Setelah beberapa hari, saya pun mulai meluruskan cerita yang sudah didengar. Sudah saya duga, dia agak berat menjawab. Terlebih yang tanya ialah saya, orang yang mungkin dia hormati. Kehormatan yang sia-sia karena sama-sama tenggelam dalam kawah kemiskinan. Saya memulai pembicaraan dengan menyampaikan, kita sama nampak berbeda nasib, tetapi sekali lagi, kita sama.
Saya ke Malaysia bukan karena saya hebat, bukan karena pintar. Kemiskinan yang membuat saya ke sini. Jadi, sehebat apa pun kita, kemiskinan lambat laun akan mengalahkan dan melemahkan kita.
Saya sudah tahu, dia punya banyak hutang yang harus dilunasi dalam tempo yang sudah ditentukan. Saya juga sadar, dia tidak mau lagi menyusahkan orang tua. Bahkan dia merasa sangat berdosa karena telah melibatkan orang tua sejauh dan sedalam ini. Dia tahu, orang tuanya tak pernah benar-benar merasakan kebahagiaan karena bergelut dengan serba kekurangan. Nenek moyang sudah berjamaah mewariskan kemiskinan. Orang tuanya yang alumni pondok di Pancor hanya bertahan hidup dengan iman di dada mereka.
Begitulah orang Sasak sejak dahulu. Hidup karena iman bukan hidup karena dapat makan, bukan karena berkecukupan. Karena iman itu pula, orang tuanya terus mendorong agar kuliah sampai manapun dia mampu. Tapi lacur, kuliah itu pulalah sebagai pembuka masalah.
Dia berjumpa dengan seorang wanita dari belahan Lombok yang lain, yang kini sudah menjadi istrinya. Menurutnya, mereka saling menyinta. Istrinya memang tidak terlalu kaya, namun bukan miskin seperti dirinya. Sepanjang mereka berpacaran, tidak ada masalah samasekali. Meskipun dia sering ke rumah calon mertua, perkara itu tidak dipersoalkan. Bahkan, sikap terbuka calon mertua yang membuat dia berani mengambil keputusan untuk menikah meski baru semester pertama Pascasarjana. Wanita yang kini menjadi istrinya itu pun, telah merindui pernikahan. Pada diri mereka berdua, tidak ada masalah samasekali.
Saya tidak akan ceritakan proses pengambilan. Meski ini menarik, namun mungkin saya ceritakan di tulisan yang lain. Kita terus ke tahap pengambilan wali nikah. Petugas dan satu orang wakil keluarga pergi ke rumah calon mertua yang bersangkutan. Perbincangan yang cukup alot. Hasilnya, hari yang cukup berat bagi keluarga. Informasi yang diberikan ialah, secara prinsipnya, pihak keluarga wanita tidak bertumpu pada harta benda. Akan tetapi, jika hal ini diabaikan, pasti akan menjadi perselisihan di kalangan keluarga.
“Saya yang melahirkan dan membesarkan anak, namun ketika begini, keluarga pula terpanggil untuk terlibat.” Begitulah kata calon mertua. Akhirnya, harga yang harus dibayarkan untuk mendapatkan wali yang ditetapkan sementara ialah mengikut keputusan keluarga calon istri.
Pihak keluarga akhirnya bermusyawarah, khusus untuk mencari tahu berapa persediaan yang ada saat ini. Setelah dihitung, masih jauh dari jumlah harga yang diminta pihak calon mertua. Pada hari itu, diputuskan untuk pergi menjemput wali untuk kali kedua. Menawarkan keseluruhan aset keluarga yang ada. Ini langkah yang sangat berani karena risikonya, pertama, setelah itu keluarga akan jatuh miskin. Kedua, tawaran itu hanya akan menyelesaikan masalah wali nikah, namun biaya untuk menjalankan pernikahan tidak ada. Ini bermakna, berhutang sudah pasti menjadi jalan keluar. Pihak keluarga sadar soal ini, hanya saja, yang terpenting sekarang ialah mendapatkan wali nikah.
Penjemputan wali nikah kali kedua tidak menghasilkan apa-apa. Malahan keadaan makin runyam. Rupanya, harga yang diminta sebelum ini belum cukup. Perlu ditambah lagi. Masalah lain ialah sudah satu minggu pengantin wanita di rumah lelaki. Sudah satu minggu pula pihak keluarga tak dapat mengurus yang lain selain berkeliling mencari pinjaman.
Di samping itu, biaya makan minum bagi tamu yang datang ke rumah juga terus bertambah. Di tengah-tengah itu, pihak keluarga memutuskan untuk menambah penawaran. Itu artinya, mereka sudah berhutang. Pesta belum dimulai, hutang piutang sudah berkembang biak.
Pihak petugas dan wakil keluarga pergi untuk yang ketiga kali menawarkan tambahan. Pihak keluarga calon mertua masih bertahan pada harga sebelum ini, harga yang sudah ditambah. Dengan diplomatif calon mertua terus mengulang. “Sebagai orang tua, kami tidak ada masalah. Kami tidak ingin menyusahkan anak. Namun kami tak ada kuasa di hadapan keluarga.” Bahkan ada di antara keluarga calon mertua menyentil, “Berani kawin di sini, berani pula membayar mahal.” Keputusan masih bulat. Tak ada wali nikah jika tak ada harga yang dipenuhi sesuai permintaan pihak calon istri.
Situasi tersebut menambah keadaan semakin sulit dan hutang terus bertambah. Ibu dari keluarga yang mau menikah sudah pingsan (banggruk) berulangkali. Di tengah-tengah pingsan itulah luahan perasaan terlontar spontan. Perasaan yang paling asli sekaligus paling dalam. “batun tele ndek uah kesie aran mum penjaukk, anakk.” tentu saja letupan itu amat mengguris perasaan siapa saja. Termasuk pengantin wanita. Dia terpaksa berbicara langsung dengan keluarganya melalui telepon. “Ini kehormatan keluarga besar.” Jawaban jelas yang diterima. Meski ia berpikir, kehormatan sampah yang menyusahkan namun ia pun tak dapat berbuat banyak.
Sudah seminggu lebih berada dalam keadaan tak menentu. Ditambah letupan perasaan calon mertua, membuat pengantin wanita berada dalam tekanan luar biasa. Melihat calon suaminya yang mendadak kurus dan suasana kebatinan di tengah-tengah calon keluarganya yang dirasa buram muram, membuat dia merasa menjadi masalah besar.
Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang ini tidak lagi hanya soal pernikahan, akan tetapi sudah mengenai kehormatan keluarga masing-masing. Hutang berbunga sudah diambil, sombong jeleng Sasak bangkit dari kubur. Keluarga yang sebelum ini dikenal sangat taat bergama, bahkan sudah berpuluh-puluh tahun menjadi ketua pengurus masjid dan madrasah, terpaksa mengambil hutang yang harus dibayar mahal. Tanah keluarga yang belum dibagi rata pun sudah sebagian dijual dengan harga murah. “Lemak pikir sak mudi (Yang belakang hari, nanti kita pikir_red)”, bangkit dari barzah.
Paham Sasak yang amat buruk, yang sebenarnya sudah lama terkubur karena ajaran Islam sudah mengakar sejak lama di keluarga. Hanya karena adat yang memberatkan, paham sesat itu kembali bangkit. Pihak keluarga sekarang bertaruh atas nama keluarga, jalan keluar yang sangat bahaya pun diambil.
Mengambil wali nikah kali ini sudah dibawa keputusan bulat. Selain petugas, wakil keluarga, juga disertakan seorang yang sudah puluhan tahun bertindak sebagai negosiator ulung pengambilan wali nikah. Teori dia sederhana. “Ya kan saja apa pun mau pihak wali nikah, yang penting wali nikah dapat. Urusan belakang, itu nanti diselesaikan.” Keputusan sudah didapat. Sebagian harga yang diminta dibayar lunas dan yang lainnya dibayar belakang. Yang penting sudah ada kesanggupan dan janji untuk dibayarkan. Ijab kabul dijalankan, pesta pernikahan dilaksanakan.
“Hutang saya sangat banyak.” Jawab lirih, keluarga saya. Saya sudah tahu, pasti itu pernyataan yang akan keluar. Saya pun sudah dapat menghitung, jika dia menabung tiga juta sebulan untuk membayar hutang, dua puluh tahun berada di Malaysia dengan kerja setiap hari tanpa libur, keluarga saya ini tak akan mampu melunasi hutangnya. Betapa sengsaranya dia. Hati saya membuncah. Lilitan kemiskinan turun-temurun sudah membayangi dia di masa hadapan. Boleh jadi, kebanyakan orang Sasak hidup untuk membayar hutang, bukan untuk menabung buat anak cucu di masa depan.
Saya dapat membayangkan jika sebagian besar orang Sasak menikah dalam hutang yang besar. Kapan mereka dapat bekerja untuk tabungan anak-anak mereka selaku generasi penerus masa depan Sasak?. Ini masalah ratusan tahun yang tak pernah dapat diselesaikan secara baik oleh orang Sasak. Mereka mengaku beragama Islam yang taat.
Dalam masa yang sama, mereka juga mendeklarasikan adat budaya yang bersendikan agama Islam. Namun untuk urusan pernikahan, mereka tidak bernar-benar merujuk Islam yang memudahkan. Satu bentuk ambivalensi Sasak yang akut. Penyakit kronis yang seolah-olah dibiarkan karena jika dicari cara penyelesaian, kelompok yang berpayungkan adat ini tidak mempunyai ruang eksistensi.
Padahal, dari banyak kasus yang sudah terjadi. Dalam hal tata cara pernikahan Sasak ini, sedikitnya mereka terbelah ke dalam empat bilik. Pertama, bilik generasi baru Sasak sebagian merasa dirugikan. Mereka hidup dalam budaya mudah. Mereka tidak mau dibelenggu oleh kesulitan adat yang sengaja dikontruksi untuk keperluan kabanggaan semu. Bilik kedua ialah orang Sasak yang sudah sepenuhnya mengacu hukum Islam. Orang Sasak jenis ini, sebenarnya dapat dikatakan anti dengan aturan adat yang menyengsarakan itu.
Mereka tidak menolak adat pernikahan tersebut, namun mereka menghendaki adat tersebut disesuaikan dengan ajaran Islam. Bilik ketiga adalah orang Sasak yang masih mau mengekalkan adat pernikahan Sasak. Untuk orang Sasak jenis ini, berbagai argumen dan strategi dilakukan untuk mensahihkan paham mereka. Dan bilik terakhir ialah kelompok intelektual Sasak. Di sini ada Tuan Guru dan Sasak terpelajar.
Ada beberapa sikap mereka. Di antaranya, kaum Sasak terpelajar melakukan penelitian terkait adat pernikahan Sasak. Namun hasil penelitian mereka hanya deskriptif. Tidak ada solusi. Selari dengan Tuan Guru, mereka tahu ada masalah terkait adat pernikahan Sasak yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam, namun mereka hanya sibuk berpidato, tiada jalan keluar yang ditawarkan. Tuan Guru dapat dikatakan tidak mempunyai ketegasan dalam perkara ini.
“Terus bagaimana rencanamu sekarang?” Saya mencoba mengajukan pertanyaan kepada keluarga saya itu. Meski saya sudah dapat menduga jawabannya, namun saya perlu memastikan apakah dugaan saya betul seperti sebelum ini yang saya ajukan ke orang Sasak yang lain. “Mule ia nasib awakk.” Sudah menjadi nasib badan. Itulah jawabannya.
Begitula orang Sasak. Terpelajar atau pun buta huruf, sangat malas mencari jalan keluar atas masalah dasar mereka iaitu kemiskinan. Belenggu bagi mereka ialah nasib. Bukan kunci untuk menemukan jalan yang lebih baik. Meski mereka sudah tahu akan mewariskan kemiskinan kepada anak cucu karena paham dan sikap keliru, namun kebanyakan dari mereka akan berkata, “biar mereka nanti yang mencari hidup sendiri.”
Apa yang baik dari orang Sasak ialah, mereka masih dapat hidup di lautan kemiskian dan jeratan hutang yang tiada habisnya. Boleh jadi, mereka tidak dapat menjadi kaya dan berkuasa karena sudah terlalu bahagia dalam sejarah kemiskinan dan kekalahan.
“Rombongan TKI Sasak hari itu, semuanya berhutang, Kak. Dan banyak di antara mereka berhutang nikah yang belum dapat dilunasi.”
Saya memandang kembali mata keluarga saya ini. Hamparan kemiskinan semakin jelas di bola mata yang sudah habis air mata itu. Betapa rindu ia kepada istri yang ditinggal pada masa bulan madu. Betapa berat hutang yang dipikulnya hanya karena pernikahan adat Sasak. Betapa tidak berguna Sasak yang mengalir dalam darahnya.
“Rombongan Sasak miskin tak pernah habis datang ke Malaysia ini,”Dengung saya dalam hati. ***
Penulis : Dr. Salman Faris