Oleh: Ir. Lalu Muh. Kabul, M.AP
Bank Dunia (2024) mengelompokkan negara-negara di dunia berdasarkan pendapatan per kapita dalam satuan dollar Amerika Serikat (USD) kedalam 3 (tiga) kelompok, yaitu negara pendapatan rendah (USD 1.135 atau kurang), negara pendapatan menengah (USD 1.136-13.845),dan negara pendapatan tinggi (USD 13.846 atau lebih). Dalam perhitungan pendapatan per kapita tersebut digunakan metode atlas (Bank Dunia, 2024). Dan negara pendapatan tinggi inilah yang lazim dikenal sebagai negara maju. Indonesia bersama Korea Selatan pada tahun 1960 termasuk dalam kelompok negara pendapatan rendah dengan pendapatan per kapita sebesar USD 1.000, namun Korea Selatan berhasil lolos menjadi negara pendapatan tinggi pada tahun 2021 (Suyitno, 2023).
Sedangkan Indonesia tidak berhasil lolos menjadi negara pendapatan tinggi dan masih terjebak dalam jebakan negara pendapatan menengah atau “middle-income trap”. Dalam pada itu istilah “middle-income trap” ini diperkenalkan oleh Indermit Gill dan Homi Kharas (2007) dalam karyanya “An East Asia Renaissance” untuk menggambarkan fenomena di negara-negara pendapatan menengah yang mengalami pertumbuhan ekonomi stagnan dan gagal naik status menjadi negara pendapatan tinggi atau negara maju. Menurut laporan Bank Dunia (2024) bahwa dalam periode 1970-2022 pendapatan per kapita negra-negara pendapatan menengah mengalami perkembangan stagnan dan masih dibawah 10 persen dari pendapatan per kapita Amerika Serikat. Dalam 34 tahun terakhir dari 104 negara pendapatan menengah; hanya sekitar 34 negara (31,48 persen) yang berhasil lolos dari “middle-income trap”.
Pada tahun 2022 pendapatan per kapita Indonesia mencapai USD 4.580; sehingga masih terjebak dalam “middle-income trap”. Bandingkan dengan pendapatan per kapita Korea Selatan pada tahun 2022 sebesar USD 35.990 atau hampir 8 kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia (Bank Dunia, 2024). Dalam tulisan ini digunakan istilah “Indonesia Gelap” untuk menggambarkan kondisi Indonesia yang masih terjebak dalam “middle-income trap” selama beberapa dekade sejak tahun 1960. Kondisi “Indonesia Gelap” inilah yang akan ditransformasi oleh Presiden Prabowo Subianto agar Indonesia naik status menjadi negara maju atau negara pendapatan tinggi. Kondisi ketika Indonesia menjadi negara maju disebut “Indonesia Terang”. Apa saja langkah strategis untuk mentransformasi kondisi dari “Indonesia Gelap” menuju “Indonesia Terang”.
Bank Dunia (2024) menawarkan strategi “3i” yaitu investasi, infusi, dan inovasi. Hal ini oleh Bank Dunia (2024) dituangkan dalam laporan pembangunan dunia berjudul “The Middle-Income Trap:Overview”. Infusi berkaitan dengan penyerapan pengetahuan dan teknologi dari luar untuk diterapkan di dalam negeri; sedangkan inovasi merupakan pengembangan teknologi baru yang memiliki daya saing global. Strategi ” 3i ” itu di Korea Selatan dilaksanakan oleh konglomerat atau “chebols”; sedangkan di China dan Polandia dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada era Orde Baru, Indonesia pernah mengalami pengalaman buruk seiring dengan rontoknya konglomerat pada krisis moneter Juli 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi pada Januari 1998 (Mubyarto, 2004).
Lebih jauh Mubyaro (2004) menyatakan bahwa konglomerat yang rontok diselamatkan oleh pemerintah melalui dana BLBI (kini sudah ditutup bukukan) dan kemudian melalui dana rekapitalisasi perbankan sebesar Rp.650 triliun berupa obligasi yang bunganya menjadi tanggungan APBN. Berkaitan dengan hal tersebut kemudian dapat dipahami jika Presiden Prabowo memilih strategi seperti yang ditempuh China yakni membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai “Super Holding” BUMN untuk mengonsolidasikan dan mengoptimalkan investasi pemerintah guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Aset-aset negara dikonsolidasikan oleh BPI Danantara untuk memperkuat daya saing global Indonesia dalam perekonomian dunia. Disisi lain, pembentukan BPI Danantara tersebut sejalan dengan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945.
Pertumbuhan ekonomi nasional diproyeksikan sebesar 5,05 persen (2022) menjadi 5,3 persen (2025) menuju 8 persen (2029). Target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen pada tahun 2029 cukup realitis karena sebelumnya pada tahun yang berbeda perekonomian nasional pernah tumbuh diatas 8 persen, yakni pada tahun 1968 (10,9 persen), 1973 (8,1 persen), 1977 (8,8 persen), 1980 (9,9 persen), dan 1995 (8,2 persen). Sebagai penutup, substansi dari uraian-uraian sebelumnya dalam tulisan ini, yakni BPI Danantara dibentuk untuk mentransformasi kondisi perekonomian nasional dari “Indonesia Gelap Menuju Indonesia Terang”.
Semoga!
Penulis adalah Direktur Lembaga Pengembangan Pedesaan (LPP)
Penulis : Lalu Muh. Kabul