Refleksi atas Budaya Konsumsi Kelas Menengah
Oleh: Salman Faris
Lebaran adalah puncak dari perjalanan spiritual selama bulan Ramadan. Ia seharusnya menjadi momentum kemenangan, bukan hanya kemenangan individu yang berhasil menahan diri, tetapi juga kemenangan sosial yang membawa kesejahteraan bagi semua. Namun, makna ini perlahan terkikis. Hari Raya Idul Fitri yang seharusnya erat dengan semangat berbagi dan keikhlasan, kini semakin terserap dalam budaya konsumsi.
Di antara sekian banyak simbolisasi perayaan modern, parsel Lebaran menjadi salah satu yang menarik untuk dikaji. Dalam teori budaya, simbol memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar objek. Ia merepresentasikan pola pikir, struktur sosial, dan relasi kuasa yang membentuk kehidupan masyarakat. Parsel Lebaran, yang dahulu mungkin merupakan bentuk sederhana dari tradisi memberi, kini telah berubah menjadi ritual konsumsi yang memiskinkan, bukan dalam arti ekonomi semata, tetapi juga dalam aspek sosial dan spiritual.
Dalam perspektif Bourdieu (1984), simbol dalam budaya bukan sekadar objek material, melainkan bagian dari modal simbolik yang memperkuat posisi kelas sosial tertentu. Parsel Lebaran, yang pada awalnya merupakan bentuk sederhana dari tradisi berbagi, kini telah menjadi praktik konsumsi yang mengukuhkan stratifikasi sosial melalui modal simbolik yang beredar dalam lingkaran kelas menengah ke atas. Sebagaimana dijelaskan dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (Bourdieu, 1984), praktik konsumsi seperti ini tidak hanya mencerminkan selera, tetapi juga berfungsi untuk membedakan kelas sosial dan mempertahankan dominasi kelompok tertentu. Dengan kata lain, parsel Lebaran bukan sekadar tanda kasih, tetapi juga alat yang mereproduksi relasi kuasa dalam masyarakat, sebagaimana ditekankan dalam Outline of a Theory of Practice (Bourdieu, 1977).
Mari kita lihat bagaimana fenomena ini berkembang, siapa yang diuntungkan, siapa yang terpinggirkan, dan bagaimana parsel Lebaran yang tampaknya begitu sepele sebenarnya adalah refleksi dari ketimpangan sosial yang lebih dalam.
Setiap tahun, menjelang Lebaran, kita melihat gelombang besar transaksi ekonomi yang dipicu oleh tradisi bertukar parsel. Orang-orang kelas menengah ke atas berlomba-lomba membeli dan mengirimkan parsel kepada kolega, atasan, rekan bisnis, atau teman-teman sejawat mereka. Ini bukan sekadar tindakan memberi, tetapi juga bagian dari kode sosial yang tak terucapkan. Parsel adalah tanda hubungan, penghormatan, dan eksistensi dalam jaringan tertentu.
Namun, di balik gemerlapnya budaya berbagi ini, ada realitas yang jarang disorot yaitu parsel hanya berputar dalam lingkaran atau arena yang sempit. Dalam terminologi Bourdieu (1993), arena (field) adalah ruang sosial di mana individu dan kelompok bersaing untuk memperoleh dan mempertahankan berbagai bentuk modal, baik ekonomi, sosial, kultural, maupun simbolik. Parsel Lebaran, dalam konteks ini, berfungsi sebagai instrumen modal simbolik yang beredar dalam arena tertentu, yaitu kelas menengah ke atas. Ia dikirim dari satu tangan kelas menengah ke tangan kelas menengah lainnya, memperkuat jaringan sosial yang sudah eksis tanpa benar-benar keluar dari batas-batas arena tersebut. Seorang pengusaha menerima parsel dari koleganya, seorang manajer mendapat kiriman dari bawahannya, seorang akademisi menerima bingkisan dari mahasiswa, dan begitu seterusnya. Dengan demikian, praktik ini bukan sekadar aktivitas berbagi, melainkan strategi simbolik untuk mempertahankan dominasi dalam arena sosial yang eksklusif.
Parsel tidak mengalir ke kelas bawah, kepada para buruh harian, tukang cidomo, pedagang kaki lima, para janda atau duda tua yang miskin, para petani yang gagal panen, para pekerja yang diPHK, atau mereka yang setiap hari bekerja keras tanpa jaminan sosial yang layak. Parsel tidak dirancang untuk mereka. Sebaliknya, orang-orang yang paling membutuhkan justru menjadi penonton di tengah pesta berbagi yang hanya melibatkan mereka yang sudah cukup berkecukupan.
Mengapa ini terjadi? Karena parsel telah menjadi simbol status sosial. Dalam pandangan Bourdieu (1986), modal sosial merujuk pada sumber daya yang dimiliki seseorang atau kelompok berdasarkan jaringan relasi sosial yang mereka bangun dan manfaatkan. Parsel bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang mempertahankan posisi dalam hierarki sosial melalui modal sosial yang beroperasi di arena tertentu. Ketika seorang eksekutif menerima parsel dari bawahannya, itu bukan sekadar tanda terima kasih, tetapi juga bentuk penguatan hubungan patron-klien, sebuah hubungan hierarkis di mana yang lebih rendah menunjukkan loyalitas kepada yang lebih tinggi sebagai bagian dari reproduksi kekuasaan (Bourdieu, 1993). Ketika seorang pengusaha mengirim parsel kepada mitranya, itu bukan hanya bentuk keramahan, tetapi juga strategi simbolik untuk menjaga dan memperkuat jaringan bisnis. Dalam The Forms of Capital (Bourdieu, 1986), Bourdieu menegaskan bahwa modal sosial tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan modal ekonomi dan simbolik parsel, dalam konteks ini, tidak lagi sekadar hadiah, tetapi telah menjadi alat pertukaran yang memperkuat posisi sosial dan ekonomi individu dalam struktur masyarakat.
Di sisi lain, budaya ini juga menciptakan tekanan ekonomi bagi kelas menengah yang ingin tetap berada dalam lingkaran sosialnya. Mereka yang berada dalam posisi tertentu merasa wajib membeli dan mengirimkan parsel dalam jumlah banyak, meskipun itu berarti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Di Indonesia, harga satu parsel berkisar antara ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung pada isinya. Bahkan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Jika seseorang harus mengirimkan sepuluh atau dua puluh parsel, maka pengeluarannya bisa mencapai jutaan rupiah. Ini menciptakan beban ekonomi tersendiri, terutama bagi mereka yang sebenarnya berada di batas bawah kelas menengah.
Dengan kata lain, budaya bertukar parsel bukan hanya eksklusif, tetapi juga eksploitatif. Ia mendorong konsumsi berlebihan, menciptakan tekanan sosial bagi mereka yang ingin tetap diakui dalam jaringan sosialnya, sekaligus mengabaikan mereka yang seharusnya lebih berhak menerima bantuan.
Lebaran seharusnya menjadi perayaan yang penuh makna, momen di mana nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas dikedepankan. Namun, apa yang terjadi dengan budaya parsel menunjukkan gejala sebaliknya yakni kemiskinan empati dan spiritualitas.
Ada kemiskinan empati ketika orang-orang yang mampu hanya berbagi dengan mereka yang setara, sementara yang membutuhkan justru diabaikan. Tentu saja, ini adalah cerminan dari stratifikasi sosial yang semakin menguat. Kelas menengah atas tidak lagi melihat ke bawah, karena mereka terlalu sibuk menjaga posisinya di antara sesama mereka.
Ada kemiskinan spiritualitas ketika ritual berbagi kehilangan maknanya. Dalam Islam, zakat dan sedekah adalah bentuk nyata dari kemenangan spiritual, karena ia melibatkan perbuatan yang benar-benar memberi manfaat kepada mereka yang membutuhkan. Dengan begitu, secara substantif dapat dikatakan parsel Lebaran bukanlah sepenuhnya sedekah, ia lebih menonjol sebagai pertukaran dalam jaringan eksklusif. Ia adalah konsumsi terselubung yang menyamar sebagai kebaikan.
Apa artinya kemenangan jika yang menang hanyalah mereka yang sudah cukup beruntung sejak awal? Apa artinya berbagi jika yang diberi hanyalah mereka yang sudah berkecukupan?
Jika kita melihat fenomena ini dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat bahwa parsel Lebaran sebenarnya bukan hanya memiskinkan mereka yang miskin, tetapi juga memiskinkan ikatan sosial secara keseluruhan.
Salah satu kekuatan terbesar dalam masyarakat adalah solidaritas sosial, kemampuan untuk saling peduli, untuk saling menguatkan, untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki tempat dalam komunitasnya. Namun, budaya parsel yang eksklusif justru memperlemah hal ini.
Dengan tetap menjaga perputaran ekonomi dalam kelompok yang sama, budaya ini memperkuat sekat-sekat sosial yang sudah ada. Alih-alih menjembatani kesenjangan, ia justru memperlebar jurang antara mereka yang mampu dan mereka yang tidak.
Kita bisa membayangkan dampaknya dalam jangka panjang, masyarakat yang semakin terfragmentasi, di mana kelas menengah dan atas semakin sibuk dengan dunia mereka sendiri, sementara kelas bawah semakin merasa terpinggirkan. Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal bagaimana sebuah bangsa kehilangan solidaritasnya. Ini ialah cerminan bagaimana sebuah menuju soliditas yang terancam. Kesatuan dalam bahaya.
Jika kita ingin mengembalikan makna Lebaran yang sesungguhnya, maka kita harus mulai dari cara kita memahami berbagi. Berbagi bukanlah tentang eksistensi sosial, bukan tentang mempertahankan jaringan, dan bukan pula tentang transaksi status. Berbagi adalah tentang memastikan bahwa kebahagiaan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi juga oleh mereka yang paling membutuhkan.
Sangat baik dan bijak jika para pemangku kekuasaan, para orang kaya yang masih beriman untuk merefleksi ulang kebiasaan parsel. Bagaimana jika, alih-alih mengirim parsel kepada mereka yang sudah cukup mampu, kita mengalokasikan sebagian dari anggaran tersebut untuk mereka yang benar-benar membutuhkan? Bagaimana jika kita mulai melihat berbagi bukan sebagai kewajiban sosial, tetapi sebagai panggilan iman dan moral sosial? Bagaimana jika kita meyakini bahwa berbagi adalah tanggung jawab kemanusiaan kita yang tanpa sekat?
Menjelang beberapa hari lagi lebaran ini, waktu yang tepat untuk para pemangku kekuasaan, para orang kaya yang masih beriman untuk bertanya pada diri sendiri, apakah kita benar-benar menang, jika yang kita menangkan hanyalah eksistensi kita sendiri? Hanya eksklusivitas kita sendiri.
Lebaran seharusnya menjadi momen kemenangan bagi semua, bukan hanya bagi mereka yang sudah kaya dan berkuasa, tetapi juga bagi mereka yang berjuang setiap hari untuk bertahan hidup.
Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media
Malaysia, Penghujung Bulan Puasa, 2025.
Penulis : Salman Faris