Oleh: Salman Faris
Di tengah masyarakat Sasak sendiri, telah lama bergulir pertanyaan yang tampak sederhana namun sarat makna. Mengapa musik Sasak cenderung mendayu-dayu, dengan lirik yang dipenuhi tema kesedihan, ratapan, dan luapan perasaan emosional yang dalam? Pertanyaan ini kembali mengemuka ketika kawan Turmuzi Mamben, salah seorang komisioner KPU Jakarta yang berasal dari Lombok mengajukannya kepada saya baru-baru ini. Sesungguhnya, pertanyaan tersebut telah lama bergaung dalam ruang batin kolektif masyarakat Sasak, namun hingga kini belum tersedia kerangka teori yang kokoh dan argumentatif untuk menjelaskannya secara tuntas.
Seharusnya, sudah saatnya sebuah kerangka teoritis disusun untuk menjawab kegelisahan intelektual ini. Walaupun saya bukan ahli dalam praktik musik, kegelisahan itulah yang mendorong saya untuk menyusun sebuah kerangka awal, dengan harapan para ahli teori dan praktisi musik di kalangan Sasak kelak dapat memperkuat, merevisi, atau bahkan merombaknya demi membangun fondasi yang lebih tepat dan ilmiah. Sebagai kerangka awal, gagasan ini tentu terbuka untuk ditolak, diperdebatkan, atau dikembangkan lebih lanjut. Namun yang terpenting, tujuan utama tulisan ini ialah untuk memantik diskusi serius demi memperjelas penteorian musik Sasak secara lebih sistematis dan akademik.
Secara etimologis, pemilihan kata melankolia sebagai kerangka teori merujuk pada kepribadian melankolis, yaitu individu yang bersifat analitis, perfeksionis, dan sangat peka terhadap emosi serta kondisi lingkungan sekitar, dengan ciri utama berupa kemampuan berpikir mendalam, ketelitian, serta kecenderungan untuk hidup secara teratur dan terstruktur. Florence Littauer (1992) menjelaskan bahwa individu melankolis cenderung menganalisis secara rinci, sangat bertanggung jawab, serta memiliki kepekaan yang tinggi terhadap seni dan keindahan.
Tim LaHaye (1984) juga menyatakan bahwa kepribadian ini ditandai oleh kemampuan merancang dengan cermat, kesetiaan terhadap nilai-nilai, dan kecintaan terhadap kesempurnaan. Sementara itu, Hans Eysenck (1982), melalui teori dimensi kepribadiannya, memosisikan tipe melankolis dalam kuadran introver dan neurotik, yang meskipun cenderung emosional, tetap memiliki kelebihan berupa ketekunan, daya analisis yang tajam, serta kecenderungan untuk bekerja secara sistematis. Dengan demikian, kepribadian melankolis memiliki potensi besar dalam bidang-bidang yang menuntut ketelitian, kreativitas, dan perencanaan yang matang.
Musik tradisional adalah bentuk ekspresi kultural yang paling dalam dari sebuah masyarakat. Ia tidak hanya mencerminkan selera estetik tetapi juga memuat struktur emosional, spiritual, dan historis yang telah terbentuk dalam waktu panjang. Dalam konteks masyarakat Sasak, musik tradisionalnya membawa satu karakteristik yang paling mencolok yaitu suasana melankolik yang nyaris menjadi warna dominan dalam tema, melodi, dan gaya penyampaian. Musik Sasak tidak bergemuruh atau membuncah dalam semangat kolektif sebagaimana yang ditemukan pada musik rakyat lainnya, melainkan hadir dengan nada rendah, pelan, merambat, dan penuh perenungan. Suasana musikal yang demikian tidak dapat dibaca sebagai kebetulan artistik belaka, melainkan merupakan penanda dari struktur emosi kolektif yang telah terbentuk secara historis dan kultural. Oleh karena itu perlu diajukan sebuah kerangka teoretis yang mampu menjelaskan bagaimana dan mengapa melankolia menjadi pusat gravitasi dalam dunia musik tradisional Sasak.
Teori melankolia musik Sasak yang dikembangkan dalam tulisan ini berangkat dari pemahaman bahwa ekspresi artistik dalam bentuk musik merekam pengalaman sosial kolektif masyarakat yang mengalami luka kultural dalam waktu panjang. Luka kultural adalah istilah yang mengacu pada kondisi retakan dalam identitas kolektif yang disebabkan oleh dominasi historis, marginalisasi struktural, dan kekalahan simbolik dalam relasi kuasa sosial budaya. Dalam hal ini masyarakat Sasak memikul beban sejarah panjang yang ditandai oleh subordinasi di bawah kekuasaan luar baik dari Bali, kolonialisme Belanda, hingga struktur nasional pasca kemerdekaan yang menjadikan mereka sebagai pinggiran dalam tatanan pembangunan modern. Subordinasi ini tidak hanya bersifat politik atau ekonomi, tetapi merembes sampai ke dalam dimensi simbolik yang membuat identitas Sasak dipertanyakan, nilai nilai budaya mereka dikesampingkan, dan bahasa serta ekspresi estetik mereka terpinggirkan dalam wacana kebudayaan nasional.
Dalam konteks ini musik Sasak menjadi wadah tempat semua luka tersebut disublimasi. Ia tidak hadir sebagai protes langsung melainkan sebagai ratapan yang tidak selesai. Ratapan itu hadir dalam bentuk tangga nada minor, tempo lambat, dan pengulangan motif melodi yang mengandung kesan mendayu. Dalam musik gamelan tradisional Sasak, dalam tembang tembang pengiring ritual dan upacara lainnya, atau bahkan dalam nyanyian rakyat sehari hari, struktur musikal yang digunakan selalu cenderung ke arah meditatif, merunduk, dan menahan. Tidak ada klimaks yang menggelegar atau kegembiraan yang tumpah ruah. Yang ada hanyalah kegetiran yang dipelihara dengan lembut, seolah masyarakat Sasak menyimpan luka yang tidak ingin disembuhkan melainkan ingin terus diingat. Ini adalah bentuk khas dari melankolia yaitu kesedihan yang tidak mencari penghiburan tetapi justru mempertahankan rasa duka sebagai bagian dari memori kolektif.
Melankolia ini juga dapat dijelaskan melalui pendekatan psikologi kultural yang menyatakan bahwa masyarakat yang mengalami kehilangan simbolik akan menyalurkan emosi mereka melalui representasi artistik. Kehilangan simbolik yang dimaksud di sini bukan hanya tentang hilangnya teritori atau kekuasaan, tetapi lebih dalam lagi tentang kehilangan rasa memiliki atas sejarah dan identitas. Musik sebagai bentuk seni yang paling purba dan paling dekat dengan tubuh menjadi medium untuk menyimpan dan menyuarakan kehilangan tersebut. Dalam hal ini musik Sasak tidak hanya berfungsi sebagai media rekreasi, tidak hanya berkedudukan sebagai medan kontemplasi, tetapi sebagai media pelestarian kesedihan. Ia adalah arsip bunyi dari luka yang terus hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat Sasak. Melalui nada-nada itu masyarakat Sasak secara tidak sadar sedang menjaga sejarah mereka sendiri agar tidak terlupakan.
Lebih jauh lagi teori ini juga menyoroti bagaimana struktur melodi dalam musik Sasak tidak hanya mencerminkan suasana batin kolektif tetapi juga mempertahankan cara pandang hidup yang khas. Cara pandang ini berakar pada kosmologi tradisional yang melihat kehidupan sebagai siklus penderitaan yang harus diterima dengan kerendahan hati. Perputaran kekalahan yang cukup lambat dikritisi, didekonstruksi untuk menyusun rancang bangun transisi yang tepat menuju Sasak hebat dan Sasak pemenang. Dalam kerangka ini musik tidak hadir untuk melawan nasib tetapi untuk menerima kenyataan dengan kesadaran penuh. Inilah yang membedakan musik Sasak dari musik protes dalam masyarakat urban. Musik Sasak bukan teriakan tapi desahan. Bukan tuntutan tapi perenungan. Menariknya, dalam dunia modern yang dipenuhi kegaduhan dan kecepatan, posisi musik seperti ini justru menawarkan kritik diam terhadap ide kemajuan yang merusak.
Namun demikian melankolia dalam musik Sasak tidak bisa dilepaskan dari konteks perubahan sosial yang tengah berlangsung. Modernisasi, globalisasi, dan industri pariwisata telah mengubah lanskap kultural masyarakat Sasak secara drastis. Musik-musik melankolik ini perlahan mulai terpinggirkan oleh selera pasar yang lebih menyukai bunyi-bunyi cepat, riuh, dan mudah dikonsumsi. Atau melankolia tersebut muncul dalam bentuk eskpresi yang lain. Generasi muda Sasak pun mulai terputus dari warisan musikal mereka sendiri. Musik tradisional tidak lagi dipelajari dengan penuh rasa hormat melainkan hanya dijadikan pertunjukan untuk wisatawan. Ini menimbulkan ketegangan baru dalam tubuh masyarakat Sasak sendiri. Di satu sisi ada dorongan untuk mempertahankan identitas kultural melalui musik tradisional. Di sisi lain ada kebutuhan ekonomi dan gaya hidup yang mendorong mereka untuk menyesuaikan diri dengan selera luar. Dalam kondisi ini musik tradisional menjadi objek negosiasi yang menyakitkan. Ia dibebani dengan harapan untuk menjadi penjaga identitas sekaligus menjadi komoditas budaya yang menjual.
Kondisi ini memperparah melankolia yang ada dalam musik Sasak. Kini bukan hanya sejarah yang menjadi sumber kesedihan tetapi juga masa kini. Musik yang dahulu menjadi media perenungan kini menjadi media komersialisasi. Nada-nada yang dahulu lahir dari kejujuran batin kini direproduksi untuk konsumsi estetika. Dalam kondisi seperti ini melankolia musik Sasak mengalami lapisan baru yaitu melankolia atas kehilangan makna. Musik menjadi bayangan dari dirinya sendiri. Ia terdengar sama tetapi tidak lagi dirasakan dengan cara yang sama. Ini adalah bentuk trauma kedua yaitu kehilangan atas ekspresi kultural itu sendiri.
Oleh karena itu teori melankolia musik Sasak harus dilihat bukan hanya sebagai penjelasan estetis tetapi sebagai kritik kultural. Ia menunjukkan bahwa kesedihan dalam musik tersebut bukan kelemahan tetapi bentuk perlawanan simbolik terhadap kekuasaan yang melupakan. Sebagai pemberontakan terhadap arus derap ekonomi yang tidak adil bagi masyarakat Sasak. Dalam sejarah dan percaturan nasional, orang Sasak yang ditepikan dari ruang pusat Indonesia. Begitu juga dalam kemajuan pariwisata, misalnya, masyarakat Sasak bernasib sebagai pengumpul remah-remah sisa pesta pora mereka yang menang dan pemain besar dalam bisnis global.
Dengan begitu, musik melankolis adalah cara masyarakat Sasak menjaga kesadaran mereka terhadap sejarah dan diri. Ia bukan nostalgia yang pasif tetapi ingatan yang aktif. Ia tidak menolak modernitas secara frontal tetapi mengingatkan bahwa ada hal-hal yang tidak boleh dilupakan dalam arus perubahan. Dengan demikian melankolia dalam musik tradisional Sasak harus dibaca sebagai bentuk keberanian untuk tidak ikut larut dalam kegembiraan palsu modernitas. Ia adalah bentuk etika budaya yang memilih untuk tidak menghibur secara dangkal tetapi menawarkan kedalaman batin yang langka.
Teori ini juga membuka ruang baru dalam studi musik tradisional Nusantara. Ia menunjukkan bahwa musik tidak hanya bisa dianalisis melalui struktur bunyi tetapi juga melalui struktur rasa dan sejarah. Musik bukan hanya soal harmoni atau ritme tetapi juga soal bagaimana masyarakat menyimpan dan menyampaikan pengalaman hidup mereka. Dalam konteks ini musik Sasak menawarkan pelajaran penting tentang bagaimana kesedihan bisa menjadi kekuatan kultural. Bagaimana kekalahan yang beruntun dapat menjadi penopang atau penyangga pembentukan katakter bangsa yang ulung. Dalam dunia yang menuntut kegembiraan terus-menerus, musik melankolis Sasak mengajarkan bahwa menangis bersama adalah bentuk solidaritas. Bernyanyai dalam melodi kesedihan secara kolektif adalah bentuk penjagaan terhadap komitmen kebangsaaan Sasak itu sendiri. Bahwa mendengar dengan diam adalah bentuk penghormatan. Bahwa menjaga duka adalah bentuk patriotisme kepada sejarah dan leluhur.
Hanya saja, penghormatan dan patriotisme itu tidak boleh dijadikan ladang tanpa tanaman, tidak boleh dijadikan kolam tanpa ikan. Pada titik inilah, sifat dasar melankolis yang analitis, perfeksionis, dan sangat peka terhadap emosi serta keadaan sekeliling, kemampuan berpikir mendalam, ketelitian, dan kecenderungan untuk teratur serta terstruktur harus dijadikan medan magnet merekonstruksi identitas dan visi kebangsaan Sasak yang lebih unggul. Dalam pendekatan posmodern, berdasarkan watak melankolis tersebut, seharusnya orang Sasak mempunyai kecanggihan tinggi untuk mengkapitalisasi kesedihan. Mendeviasi kekalahan menjadi arus kemenangan masa depan orang Sasak. Dengan luka kultural tersebut sewajibnya orang Sasak memiliki kemampuan tak tertandingi dalam menegosiasikan posisi kehormatan mereka di pusat kuasa Indonesia.
Dengan demikian teori melankolia musik Sasak tidak hanya penting untuk memahami satu bentuk musik lokal tetapi juga penting untuk memahami bagaimana masyarakat menghadapi luka sejarah mereka. Musik bukan hanya ekspresi estetis tetapi juga medan ingatan dan arena perlawanan simbolik. Melalui musik yang sedih dan lambat masyarakat Sasak sedang berkata bahwa mereka pernah ada pernah menderita dan terus bertahan. Dalam dunia yang semakin melupakan suara-suara kecil seperti ini teori melankolia musik Sasak adalah usaha untuk terus mendengarkan. Adalah upaya untuk tak berhenti menjadi (to be) dan mengada (being).
Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media
Malaysia, 5 Mei 2025.
Penulis : Dr. Salman Faris
Sumber Berita : Opini