Sasak Kini Tidak Asli: Dekonstruksi Klaim Keaslian Elit

Jumat, 16 Mei 2025 - 10:49 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tradisi Maulid Adat di Masjid Kuno Bayan Beleq, Lombok Utara. (Foto: Lombokini.com).

Tradisi Maulid Adat di Masjid Kuno Bayan Beleq, Lombok Utara. (Foto: Lombokini.com).

Oleh: Salman Faris

Meningkatnya klaim tentang keaslian Sasak telah menimbulkan kegelisahan epistemologis yang serius dalam tubuh masyarakat Sasak itu sendiri. Klaim-klaim ini tidak sekadar menyatakan sebuah kebanggaan etnik, melainkan telah menjelma menjadi alat pembenaran untuk menilai, mengecam, dan bahkan menyingkirkan pemikiran atau ekspresi budaya yang dianggap menyimpang dari definisi Sasak asli versi elit tertentu.

Mereka yang berusaha menawarkan pandangan alternatif tentang sejarah, budaya, atau cara hidup Sasak kerap dituduh mencemari kemurnian identitas. Ini bukan sekadar persoalan budaya, melainkan gejala politik identitas yang bekerja melalui dominasi pengetahuan dan pengaburan sejarah. Ironisnya, mereka yang mengklaim sebagai pewaris Sasak asli pun seringkali tidak memiliki pemahaman sejarah yang genealogis dan komprehensif. Mereka nampak memungut fragmen-fragmen yang terputus dari konteks sejarah panjang Lombok, dan mengemasnya sebagai warisan otentik, yang kemudian dijadikan alat legitimasi dan jastifikasi atas sikap penghukuman sosial kepada Sasak yang lain.

Sasak, sebagai entitas kultural dan sosial, tidak pernah hadir sebagai bentuk tunggal yang tetap. Ia adalah hasil dari pergulatan zaman, tarikan kekuasaan, dan pertemuan berbagai peradaban. Sejak sebelum letusan gunung Samalas pada abad ke-13 yang menghancurkan sebagian besar tatanan kehidupan awal Lombok, masyarakat Sasak awal (yang sebenarnya sampai sekarang belum ada bukti apakah mereka sudah bernama bangsa Sasak pada masa itu) telah mengalami pembentukan berlapis-lapis.

Pasca bencana besar itu, Lombok menjadi wilayah terbuka bagi masuknya berbagai kuasa eksternal seperti Majapahit, Karangasem, Bugis, Arab, Cina, VOC atau Hindia Belanda, Jepang hingga akhirnya masuk ke dalam proyek nasional Indonesia, serta yang terkini adalah globalisasi. Dalam tiap fase itu, apa yang disebut sebagai identitas Sasak direformulasi ulang, baik dalam bentuk struktur sosial, bahasa, cara beragama, maupun sistem pengetahuan. Maka, mengklaim satu periode tertentu sebagai cerminan keaslian Sasak adalah tindakan yang tidak hanya ahistoris, tetapi juga menggelapkan. Dengan kata lain, membincangkan Sasak asli itu sangat tidak relevan.

Klaim keaslian adalah bentuk kekuasaan. Ia bekerja bukan untuk melindungi identitas, tetapi untuk menguasai tafsir atas identitas. Dalam konteks Lombok, kita menyaksikan bagaimana sebagian elit budaya dan politik membakukan bentuk-bentuk tertentu dari tradisi seperti nyongkolan, peresean, gendang beleq, atau istilah adat seperti begawe dan sangkep beleq sebagai tanda-tanda utama Sasak asli. Namun, mereka menutup mata terhadap fakta bahwa banyak dari bentuk budaya ini merupakan hasil interaksi silang dengan kuasa luar. Sudah pasti nyongkolan dan tata busananya dipengaruhi gaya kolonial.

Bahkan bisa jadi peresean yang diklaim sebagai Sasak asli itu juga berkembang dalam arena sosial di bawah pengaruh struktur militeristik kolonial. Termasuk juga sistem kebangsawanan yang dipertahankan dalam struktur budaya lokal adalah warisan kolonial yang menginstitusionalisasi kelas sosial. Pengetahuan-pengetahuan ini kerap diabaikan dalam narasi tentang Sasak asli.

Lebih parah lagi, klaim keaslian ini justru mendorong pembelahan sosial yang tajam antara yang asli dan yang tidak asli, yang kemudian berdampak kepada dualisme budaya yakni adiluhung dan profan. Budaya Sasak yang diklaim adiluhung tersebut, selain dikalim paling asli juga dikontruksi sebagai representasi elit Sasak. Sedangkan budaya profan selalu dihukum sebagai Sasak rendah bahkan bukan Sasak (lihat kasus Ale-ale dengan Gendang Beleq). Maka muncullah kebiasaan penghakiman atas individu atau kelompok yang tidak mengadopsi praktik-praktik tradisi adiluhung tersebut sebagai tidak Sasak.

Baca Juga :  Deep Learning Perlu untuk Semua Jenjang Pendidikan

Mereka yang mendekonstruksi adat budaya Sasak dalam bentuk yang lebih reflektif dan kontekstual dianggap menyimpang dari ajaran leluhur. Mereka yang mempertanyakan sistem sosial yang diskriminatif dalam adat dianggap mencederai nilai-nilai Sasak. Dalam logika ini, tradisi tidak lagi dipahami sebagai hasil sejarah dan ekspresi kolektif yang bisa dinegosiasikan, tetapi dijadikan doktrin yang absolut dan tertutup terhadap kritik. Ini menimbulkan ketegangan epistemik yang akut dalam tubuh masyarakat Sasak itu sendiri.

Padahal jika dibaca secara genealogis, identitas Sasak adalah hasil dari proses pembentukan diskursif yang panjang. Identitas bukanlah warisan tetap, tetapi hasil dari jaringan kekuasaan dan pengetahuan yang terus-menerus membentuk subjek. Dalam kasus Sasak, kita melihat bagaimana Majapahit memperkenalkan struktur administratif yang menyatu dalam sistem kelembagaan orang Sasak. Bali mengintervensi sistem kasta dan ritus adat, bahkan mendominasi struktur musik dan tari. Belanda menciptakan kategori etnografis yang membakukan Sasak sebagai unit administratif yang dapat dikelola. Setelah Indonesia merdeka, negara memproduksi identitas Sasak melalui pendidikan, museum, dan kurikulum kebudayaan. Maka, Sasak hari ini adalah hasil dari pelapisan diskursif yang tidak bisa dikembalikan pada satu titik kemurnian yang selalu dikalim asli.

Dalam pemikiran Homi Bhabha, kondisi ini disebut sebagai hibriditas. Budaya tidak pernah murni, karena selalu berada dalam ruang in-between, ruang antar di mana berbagai pengaruh bertemu dan saling mengubah satu sama lain. Sasak hari ini adalah hasil dari ruang in-between itu. Maksudnya bukan Hindu, bukan Islam sepenuhnya. Bukan Bali, bukan Jawa, bukan Bugis, bukan tradisi murni, bukan pula modernitas total. Ia adalah bentuk hibrida yang memiliki potensi kritis justru karena tidak tunduk pada keutuhan tunggal. Namun elit budaya sering menolak hibriditas ini karena dianggap mengaburkan batas-batas identitas. Padahal di sinilah kekuatan identitas Sasak yakni dalam kemampuannya bertransformasi, bukan dalam klaim keasliannya.

Klaim keaslian elit Sasak juga merupakan bentuk hegemoni yang tidak bekerja melalui pemaksaan fisik, tetapi melalui normalisasi nilai dan pemaknaan. Mereka yang menguasai wacana kebudayaan menentukan apa yang sah dan tidak sah sebagai representasi Sasak. Mereka menjadikan institusi budaya seperti lembaga adat, lembaga budaya, lembah kesenian, bahkan kampus dan birokrasi sebagai alat produksi makna. Melalui festival budaya, buku ajar, dan even pariwisata, mereka menyebarkan formasi-formasi budaya tertentu yang sesuai klaim mereka sebagai representasi tunggal. Ini bukan saja membatasi kebebasan ekspresi, tetapi juga menindas bentuk-bentuk lokalitas lain di Lombok yang tidak sesuai dengan narasi besar mereka.

Akibat langsung dari dominasi wacana keaslian ini adalah kerusakan epistemik dalam pewarisan pengetahuan Sasak. Anak muda yang mencoba mengeksplorasi Sasak melalui jalur seni kontemporer, kajian kritis, atau aktivisme sosial dianggap tidak sah. Inisiatif-inisiatif budaya alternatif seperti komunitas seni jalanan, diskusi sejarah alternatif, atau penulisan ulang narasi lokal yang tidak sesuai dengan versi elit dianggap membahayakan identitas. Ini adalah bentuk penindasan kultural yang halus. Pewarisan pengetahuan menjadi seragam, dikontrol oleh otoritas-otoritas budaya yang mengklaim legitimasi berdasarkan usia, garis keturunan, atau kedekatan politik. Padahal seharusnya pengetahuan tentang Sasak bersifat terbuka, dialogis, dan mampu beradaptasi dengan zaman.

Baca Juga :  Pameran Kurban

Kegagalan memahami sejarah Sasak secara genealogis juga menyebabkan ilusi tentang kemurnian yang sebenarnya tidak pernah ada. Mereka yang mengklaim Sasak asli sering lupa bahwa pada abad ke-17, Lombok mengalami migrasi tidak hanya dari Bali dan Jawa, tetapi juga Bugis, Melayu yang turut membentuk sistem sosial, sistem budaya, sistem politik, upacara keagamaan, seni dan arsitektur. Bahkan dalam konteks Islam, Sasak telah bertransformasi secara modernis, dan kini memasuki fase identitas Islam global. Semua ini menunjukkan bahwa Sasak tidak pernah statis. Ia adalah ruang sejarah yang cair dan terus berubah. Ini membuktika bahwa Sasak asli itu tidak dapat dilacak secara pasti dan tidak boleh diklaim secara sepihak.

Ketika kita membaca ulang sejarah Sasak dengan pendekatan yang lebih kritis, maka kita akan memahami bahwa klaim keaslian lebih merupakan proyek ideologis daripada kenyataan historis. Ini seperti yang dijelaskan oleh Eric Hobsbawm tentang invention of tradition, di mana banyak tradisi yang dianggap tua dan asli, ternyata baru dibakukan pada abad ke-19 dan 20 untuk kepentingan politik identitas. Sasak pun tidak luput dari proses ini. Banyak bentuk tradisi yang sekarang dianggap otentik sebenarnya adalah hasil pembakuan kolonial atau proyek pariwisata modern. Maka, pertanyaan seharusnya bukanlah siapa Sasak yang asli? Tetapi siapa yang diuntungkan dari klaim keaslian itu?

Klaim keaslian juga menciptakan garis batas yang palsu antara komunitas-komunitas di tengah masyarakat Sasak. Misalnya, masyarakat Bayan dianggap lebih asli daripada masyarakat kota. Mereka dijadikan simbol purifikasi budaya Sasak. Padahal kehidupan sosial di Bayan pun telah mengalami transformasi modernisasi, migrasi, dan dialog budaya. Ketika keaslian dipaksakan sebagai patokan, maka kita mengabaikan kenyataan bahwa identitas selalu berubah dan bersifat relasional. Sasak bukan satu, bukan murni, dan tidak akan pernah final.

Maka, sikap saya adalah tegas bahwa dekonstruksi atas klaim keaslian bukan berarti menolak warisan budaya atau membenci tradisi. Sebaliknya, ini adalah upaya menyelamatkan tradisi dari pembekuan. Ketika kita membiarkan satu tafsir dominan mengontrol makna Sasak, maka kita sedang membunuh vitalitas budaya itu sendiri.

Sasak seharusnya dirayakan sebagai ruang kemungkinan, bukan ditutup sebagai kebenaran tunggal. Sasak adalah medan tafsir, bukan naskah suci. Ia harus dibaca, ditafsirkan ulang, digugat, dan diciptakan kembali sesuai dengan konteks zaman. Hanya dengan demikian, kita bisa berbicara tentang Sasak sebagai masa depan, bukan sekadar peninggalan masa lalu.

Sasak kini tidak asli bukan karena ia kehilangan akar, tetapi karena akarnya sendiri telah bercabang dan menjalar ke berbagai arah. Dalam cabang-cabang itulah kita menemukan kehidupan dan keberagaman. Masa depan Sasak tidak terletak pada pengembalian ke masa lalu yang dibekukan, tetapi pada kemampuan kita untuk terus mencipta dan merayakan identitas dalam keragaman.

Dekonstruksi terhadap klaim keaslian bukanlah bentuk pengingkaran, melainkan afirmasi atas hak setiap orang Sasak untuk menafsirkan, menulis, dan menghidupi Sasak sesuai dengan realitas zaman. Tidak boleh ada dominasi pengetahuan tentang Sasak. Semua lapisan masyarakat Sasak berhak atas kemerdekaan dalam merayakan identitasnya yang dinamis, plural, dan relevan.

 

Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media

Malaysia, 8 Mei 2025

Penulis : Dr. Salman Faris

Berita Terkait

Pameran Kurban
Perayaan Wallace: Membangun Peradaban Keilmuan Lombok
Deep Learning Perlu untuk Semua Jenjang Pendidikan
Pekan Teater Pelajar NTB: Karena Sasentra Ialah Api Yang Tak Pernah Padam
Belajar Cinta dan Kepercayaan dari Mangrove
Begitu Pentingnya Lombok Bagi Bali: Kuasa Mitos Kupu-kupu Kuning yang Terus Diproduksi
Gubernur Iqbal Memerlukan Humor Komedian
Elitisasi Sejarah Sasak: Bercermin pada Teater Cupak Gerantang

Berita Terkait

Kamis, 12 Juni 2025 - 18:59 WITA

Satgas Pangan Polri Dukung Penanaman Bawang Putih di Sembalun untuk Swasembada Nasional

Kamis, 12 Juni 2025 - 17:21 WITA

Lombok Timur Targetkan Produksi 20 Ton Per Hektare Bawang Putih Unggul untuk Tekan Impor

Rabu, 11 Juni 2025 - 16:53 WITA

Ketum Dekranas Selvi Gibran Dorong UMKM NTB Naik Kelas dan Go Digital

Rabu, 11 Juni 2025 - 15:17 WITA

Selvi Gibran Sebut Peran UMKM sebagai Penggerak Ekonomi Nasional

Selasa, 10 Juni 2025 - 16:24 WITA

Polda NTB Gandeng LRC Sulap Lahan Kritis SPN Belanting untuk Kemandirian Pangan

Selasa, 10 Juni 2025 - 06:46 WITA

MI6 Ajukan Zul-Rohmi sebagai Kandidat Nobel Perdamaian 2026

Selasa, 10 Juni 2025 - 03:17 WITA

Ironi Praktik Ganda Dokter RSUD Soedjono Selong: Dingin di Rumah Sakit, Humanis di Klinik Pribadi

Senin, 9 Juni 2025 - 19:23 WITA

Mori Hanafi Gerak Cepat Konsolidasi NasDem NTB, Siapkan Strategi Menuju Pemilu 2029

Berita Terbaru