Pekan Teater Pelajar NTB: Karena Sasentra Ialah Api Yang Tak Pernah Padam

Rabu, 21 Mei 2025 - 13:34 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pekan Teater Pelajar NTB: Karena Sasentra Ialah Api Yang Tak Pernah Padam. (Foto: Lombokini.com).

Pekan Teater Pelajar NTB: Karena Sasentra Ialah Api Yang Tak Pernah Padam. (Foto: Lombokini.com).

Oleh: Salman Faris

Dalam sejarah perkembangan teater dunia, festival merupakan panggung awal tempat ide, estetika, dan kekuatan gagasan dipertarungkan dan diperkenalkan. Festival teater bukan sekadar seremoni artistik, melainkan arena ideologis, estetis, dan bahkan politis, tempat teater menunjukkan diri sebagai medan pergulatan intelektual dan eksistensial. Dalam konteks ini, keberadaan Pekan Teater Pelajar (PTP) 4 Se-NTB tahun 2025 pada 19-21 Mei di Taman Budaya NTB yang diinisiasi oleh Sasentra menjadi sebuah fenomena penting. Sebagai unit kegiatan mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT), Sasentra tidak hanya menyambung estafet tradisi festival teater di NTB, tetapi juga menghidupkan kembali dengan nyala semangat baru. Api yang tak pernah padam.

Sejarah mencatat bahwa awal mula teater sebagai bentuk seni yang mandiri dan filosofis tidak bisa dilepaskan dari keberadaan festival. Pada tahun 534 SM, di Athena, seorang tokoh bernama Thespis sebagai pemenang pertama kompetisi penulisan naskah tragedi dalam Festival Dionysia. Thespis ialah bapak tragedi. Ia tidak hanya memperkenalkan tradisi keaktoran dengan keluar dari paduan suara (chorus) dan berdialog dengan narator, tetapi juga menandai lahirnya konsep aktor modern. Sejak itu, istilah Thespian digunakan untuk menyebut para aktor teater di seluruh dunia.

Festival-festival teater atau seni pertunjukan secara umum seperti Dionysia, Ludi Romani, hingga Edinburgh Fringe Festival di era kontemporer menjadi landasan bagi pertumbuhan teater dalam berbagai genre, bentuk, dan ideologi. Bahkan materi. Festival melahirkan bukan hanya teks dan pertunjukan, tetapi juga filsafat artistik, kritik sosial, dan formasi komunitas teater. Sebagai medium seleksi kultural, festival memungkinkan pemetaan dinamika estetika dan membentuk arah baru dalam praktik kesenian. Dalam pengertian ini, teater dan festival bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan dua sisi dari koin yang sama. Satu tidak bisa eksis tanpa yang lain.

Di NTB, tradisi festival teater telah berlangsung lebih dari empat dekade. Pada era 1990-an, Festival Teater Modern yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Universitas Mataram menjadi tonggak penting yang mencerminkan geliat teater modern di Bumi Gora. Tidak hanya berperan sebagai ruang ekspresi, festival ini juga menjadi wadah pembentukan identitas estetik generasi teater muda NTB. Kemudian muncul Festival Teater Pelajar yang diselenggarakan oleh Teater Putih FKIP Unram. Festival ini memiliki peran penting dalam mendekatkan dunia teater dengan pelajar, menanamkan nilai-nilai artistik dan intelektual pada usia dini, serta membentuk kultur apresiatif terhadap seni pertunjukan di lingkungan sekolah. Festival teater yang dikelolah Teater Putih Unram cenderung berpihak kepada pendekatan realis, baik dalam bentuk naskah, gaya akting, maupun penyutradaraan. Kontinuitas haluan festival ini mencerminkan portofolio estetik yang patut diapresiasi.

Perjalanan festival teater di NTB tidak bisa dilepaskan dari nama-nama besar seperti Kongso Sukoco, Winsa Prayitno, Azhar Zaini, Imtihan Taufan, Latif Apriaman, Eko Wahono, Saifullah Safturi, dan Sukran Hasan. Begitu juga nama lain yang tidak kalah besar. Mereka bukan hanya praktisi, tetapi juga intelektual dan peletak dasar estetika teater lokal yang berpijak pada konteks sosio-kultural NTB. Dalam hal ini, sejarah teater NTB adalah sejarah perjuangan estetika dan ideologi yang tumbuh dari akar komunitas.

Kemunculan Pekan Teater Pelajar oleh Sasentra menandai babak baru dalam sejarah festival teater di NTB. Ia hadir sebagai kontinuitas dari tradisi yang telah berlangsung, menjembatani generasi dan menjaga nyala api teater tetap hidup. Ia membawa semangat baru yang berbeda, karena tumbuh dari lingkungan kampus swasta, yakni Universitas Muhammadiyah Mataram. Ini bukan persoalan administratif semata-mata, tetapi soal keberanian dan militansi dalam menghadapi tantangan struktural yang jauh lebih berat dibandingkan institusi negeri. Tentu bukan perkara mudah menawarkan akar perubahan pada kampus swasta yang mandiri dikelola oleh yayasan.

Baca Juga :  Gubernur Iqbal Memerlukan Humor Komedian

Sejak lama, ketika awal berdiri Sasentra menegaskan bahwa menjadi swasta bukanlah hambatan untuk mencipta gagasan besar. Sebaliknya, keterbatasan menjadi pemicu untuk menciptakan lompatan-lompatan artistik yang berani. Dalam konteks ini, Pekan Teater Pelajar yang sudah masuk tahun ke-4 tersebut tidak digerakkan oleh logika seremonial atau formalitas administratif, melainkan oleh daya hidup komunitas yang berakar pada tekad untuk berpikir, berkarya, dan bertahan di tengah badai zaman yang menggilas orang kalah, kaum miskin, kelompok bodoh yang terjajah. Dasar ideologis Sasentra ialah hidup berdaya meski dalam kekalahan paling hina dan lemah sekalipun. Hidup adalah pengabdian abadi kepada Ilahi. (rujuk mars Sasentra).

Lebih jauh dari itu, tentu saja, Pekan Teater Pelajar ini menjadi ruang lain untuk mengeksplorasi bentuk baru dalam teater. Seperti yang diutarakan Stuart Hall dalam konsep aesthetic truth, saya melihat Pekan Teater Pelajar ini menolak kemapanan bentuk. Estetika di sini tidak lagi tunduk pada dominasi model realis dan model lain yang dominan serta mapan. Melainkan membuka diri pada berbagai kemungkinan baru: eksperimental, surealis, fragmentaris, hingga hibrid. Bahkan kemungkina teater tanpa bentuk, teater tanpa pijakan, teater yang mencair ke dalam apa pun situasi kemanusiaan seperti gagasan yang ditawarkan oleh estetika posmodern. Dengan demikian, Pekan Teater Pelajar ini diharapkan menjadi laboratorium estetik yang membongkar pakem, memprovokasi wacana, dan membentuk horizon baru dalam praktik teater. Bahkan menawarkan ketiadaan estetik, di mana teater pada saatnya tidak memerlukan bentuk estetika apa pun.

Karena itu, tidak mungkin membicarakan Pekan Teater Pelajar ini tanpa memahami falsafah dan pandangan hidup Sasentra itu sendiri. Dalam dokumen dan narasi komunitas yang dibangun sejak awal berdiri, Sasentra secara tegas menolak manusia yang tak berpikir. Bagi mereka, manusia yang tidak berpikir adalah kematian awal bagi kemanusiaan itu sendiri. Ini adalah sebuah pernyataan ideologis yang kuat, yang tidak hanya menyangkut seni tetapi juga keberadaan manusia secara utuh. Sasentra menolak manusia lemah, manusia tanpa daya, manusia tanpa usaha, manusia tanpa keberanian untuk gagal maupun sukses.

Pandangan ideologis tersebut tercermin dalam setiap aspek penyelenggaraan Pekan Teater Pelajar, dari kurasi naskah, pelibatan kelompok, model presentasi, hingga diskusi pasca-pertunjukan. Semua diarahkan pada satu tujuan yakni menciptakan ruang baru bagi segala kemungkinan baru dalam teater. Sasentra percaya bahwa teater adalah api yang tak pernah padam. Api itu bisa hidup di dasar lautan ketika badai menerjang. Api itu bisa menyala di perut batu ketika kemarau melanda. Imaji ini bukan sekadar metafora puitik, tetapi simbol eksistensial bagi militansi kultural. Dengan semangat ini, festival bukan lagi ajang kompetisi, tetapi ruang pembentukan subjektivitas estetik, ruang artikulasi kegelisahan kolektif, dan ruang produksi kebenaran baru dalam seni. Dan sudah pasti, ruang membentuk manusia utuh, seutuh-utuhnya. Manusia yang anti dengan zamannya sendiri karena baginya, dirinyalah zaman itu sendiri.

Lebih lanjut, Pekan Teater Pelajar yang digagas Sasentra bukanlah peristiwa tunggal yang berdiri sendiri. Ia menjadi simpul dari ekosistem estetik baru yang sedang dibangun. Melalui festival ini, terjadi perjumpaan antara pelajar, guru, seniman, akademisi, dan masyarakat. Termasuk stakeholder lain yang bisa saja dari kalangan borjuasi, hedon, dan pemerintah sendiri. Teater dirancang sebagai ruang yang mempertemukan segala jenis manusia untuk saling mengenali agar tidak saling mencederai. Goalnya adalah teater menjadi asasi, di mana di sana manusia dapat bergaul secara damai dan setara.

Di samping itu, Pekan Teater Pelajar ini memungkinkan terjadinya dialektika antara praksis artistik dan refleksi teoretik. Setiap kelompok yang tampil tidak hanya menampilkan pertunjukan, tetapi juga mengartikulasikan gagasan, menjawab tantangan zaman, dan menegaskan posisi estetiknya. Kurasi festival dirancang untuk merangsang keberanian estetik, bukan untuk membesarkan ego atau mengukuhkan dominasi. Dalam proses ini, festival berubah menjadi forum diskursus kultural yang produktif. Bahkan, melalui Juklak-Juknis yang disusun secara cermat, terlihat bahwa Pekan Teater Pelajar ini tidak sekadar formalitas, melainkan ekspresi dari kesadaran artistik dan ideologis yang matang. Ketentuan teknis, mekanisme penjurian, dan sistem dokumentasi pertunjukan menunjukkan bahwa Sasentra bekerja dengan serius membangun sistem kesenian yang berkeadaban dan bertanggung jawab.

Baca Juga :  Begitu Pentingnya Lombok Bagi Bali: Kuasa Mitos Kupu-kupu Kuning yang Terus Diproduksi

Apa yang dilakukan Sasentra harus terus dilihat sebagai awal dari babak baru dalam peta teater NTB. Cara pandang seperti ini yang akan menumbuhkan diri menjadi manusia yang tidak mudah berpuas hati, membanggakan diri lalu merendahkan orang lain. Manusia yang selalu berselimut dengan kegelisahan. Karena teater ialah medan di mana manusia harus menundukkan kebinatangan lalu membangkitkan kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, jika Pekan Teater Pelajar ini semakin melahirkan kebanggaan diri, jurang yang tajam anatara yang kalah dan menang, kedengkian, kebencian, permusuhan, maka Pekan Teater Pelajar tak lebih dari sekadar arena pesta para penghuni neraka yang hidup dan mtinya sangat lacur.

Pekan Teater Pelajar ini harus terus dilihat sebagai proyek kebudayaan jangka panjang, yang tidak hanya berhenti pada pertunjukan tahunan, tetapi menjelma menjadi pusat produksi artistik dan teoritik. Laboratorium ilmu pengetahuan yang membebaskan. Pusat produksi manusia yang kuat, tahan banting, berani meneriaki dan menjeriti zaman mereka sendiri. Karena itu, Sasentra memiliki potensi untuk mengembangkan Pekan Teater Pelajar ini ke dalam format yang lebih luas seperti mengadakan lokakarya penulisan naskah, forum diskusi teater, penerbitan naskah, hingga dokumentasi video sebagai arsip budaya.

Dengan perancangan dan strategi tersebut, Sasentra dapat menjadi simpul penting dalam jaringan teater nasional bahkan internasional. Menjadi titik baru kontinuitas legasi para tokoh teater NTB yang saya sebutkan di atas. Namun tantangan sudah pasti tetap ada. Antara lain pendanaan, regenerasi kader, relasi antar institusi, dan resistensi dari paradigma lama. Tetapi, sebagaimana teater adalah seni kemungkinan, Pekan Teater Pelajar ini harus terus dirawat sebagai ruang yang selalu terbuka bagi keberanian dan gagasan baru. Dalam api teater, selalu ada kemungkinan untuk membakar kekakuan, menyalakan semangat, dan menghangatkan kemanusiaan.

Saya melihat dan menegaskan bahwa Pekan Teater Pelajar yang diinisiasi oleh Sasentra bukan sekadar peristiwa seni, tetapi adalah manifestasi dari sebuah pandangan hidup. Ia adalah ruang pembebasan, arena perlawanan terhadap kemapanan bentuk, dan ladang subur bagi penanaman gagasan estetik baru. Sebagai kontinuitas dari tradisi teater di NTB dan sekaligus pembuka jalan baru, festival ini menunjukkan bahwa api teater tidak pernah padam.

Apa teater itu mungkin tersembunyi, tetapi tak pernah mati. Ketika badai reda dan kemarau berganti hujan, api itu akan menyala kembali, membakar kegelapan, dan menyalakan harapan. Sasentra telah menunjukkan bahwa keberanian untuk berpikir, berkreasi, dan gagal adalah bentuk tertinggi dari kemanusiaan dalam teater. Dan melalui Pekan Teater Pelajar ini, mereka telah menyalakan obor bagi generasi baru. Obor yang akan terus berpindah tangan dan terus menyala. Karena memang Sasentra ialah api yang tak pernah padam.

Untuk seterusnya ialah tetap hidup, tak pernah berhenti, tak berpuas diri, dan tak mati dalam manusia yang tidak punya arti serta nilai diri.

 

Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media

Malaysia, 19 Mei 2025.

Berita Terkait

Pameran Kurban
Perayaan Wallace: Membangun Peradaban Keilmuan Lombok
Deep Learning Perlu untuk Semua Jenjang Pendidikan
Belajar Cinta dan Kepercayaan dari Mangrove
Begitu Pentingnya Lombok Bagi Bali: Kuasa Mitos Kupu-kupu Kuning yang Terus Diproduksi
Gubernur Iqbal Memerlukan Humor Komedian
Sasak Kini Tidak Asli: Dekonstruksi Klaim Keaslian Elit
Elitisasi Sejarah Sasak: Bercermin pada Teater Cupak Gerantang

Berita Terkait

Kamis, 12 Juni 2025 - 18:59 WITA

Satgas Pangan Polri Dukung Penanaman Bawang Putih di Sembalun untuk Swasembada Nasional

Kamis, 12 Juni 2025 - 17:21 WITA

Lombok Timur Targetkan Produksi 20 Ton Per Hektare Bawang Putih Unggul untuk Tekan Impor

Rabu, 11 Juni 2025 - 16:53 WITA

Ketum Dekranas Selvi Gibran Dorong UMKM NTB Naik Kelas dan Go Digital

Rabu, 11 Juni 2025 - 15:17 WITA

Selvi Gibran Sebut Peran UMKM sebagai Penggerak Ekonomi Nasional

Selasa, 10 Juni 2025 - 16:24 WITA

Polda NTB Gandeng LRC Sulap Lahan Kritis SPN Belanting untuk Kemandirian Pangan

Selasa, 10 Juni 2025 - 06:46 WITA

MI6 Ajukan Zul-Rohmi sebagai Kandidat Nobel Perdamaian 2026

Selasa, 10 Juni 2025 - 03:17 WITA

Ironi Praktik Ganda Dokter RSUD Soedjono Selong: Dingin di Rumah Sakit, Humanis di Klinik Pribadi

Senin, 9 Juni 2025 - 19:23 WITA

Mori Hanafi Gerak Cepat Konsolidasi NasDem NTB, Siapkan Strategi Menuju Pemilu 2029

Berita Terbaru