Meragukan Babad-babad Sasak

Minggu, 11 Mei 2025 - 11:15 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dr. Salman Faris. (Foto: Lombokini.com/Dok. Pribadi).

Dr. Salman Faris. (Foto: Lombokini.com/Dok. Pribadi).

Oleh: Salman Faris

Dalam kebudayaan Sasak, babad adalah ruang ingatan yang dianggap sakral dan legitim, seolah menyimpan kebenaran sejarah yang tidak dapat digugat. Narasi tentang raja-raja kuno, pertempuran, migrasi, kesaktian, mitos leluhur serta pembentukan tatanan sosial dituangkan dalam bentuk teks lisan dan tulisan yang dihormati oleh sebagian masyarakat sebagai representasi masa lalu yang utuh.

Hingga kini, berbagai babad masih dijadikan sumber utama dalam penulisan sejarah dan pembentukan identitas manusia Sasak, baik oleh sarjana lokal maupun peneliti dari luar negeri. Ketergantungan terhadap narasi-narasi tradisional ini telah menyebabkan kelengahan kolektif di kalangan masyarakat Sasak sendiri untuk secara kritis menggali dan merumuskan jati diri mereka melalui pendekatan lain yang mungkin lebih empiris, objektif, kontekstual, relevan, dan memiliki cakupan logis yang lebih luas. Jika kondisi ini terus dibiarkan, nalar kritis masyarakat Sasak berisiko terjebak dalam kemalasan berpikir yang justru membahayakan eksistensi dan masa depan entitas budaya mereka sendiri.

Bahkan yang paling membahayakan adalah munculnya sejarawan-sejarawan Sasak yang meyakini kemurnian Sasak sebagaimana dilukiskan dalam babad, lalu memaksakan keyakinan tersebut sebagai satu-satunya kebenaran sejarah. Dalam pandangan saya, mereka adalah sejarawan yang justru menjadi korban narasi babad. Anehnya, mereka secara aktif memperluas jebakan itu dengan menyempitkan ruang diskursus sejarah serta keberadaan manusia Sasak itu sendiri. Bahayanya semakin besar ketika para sejarawan semacam ini mulai menunjukkan gejala dipercaya dan diikuti oleh orang Sasak. Sudah tentu ini sangat bahaya jika mereka menjadikan narasi tunggal yang bersumber babad sebagai dasar dominan dalam pembacaan identitas dan sejarah komunitas Sasak.

Karena itu, pertanyaan mendasar harus dimunculkan, benarkah babad-babad Sasak mewakili realitas sejarah sebagaimana terjadinya? Atau justru merupakan konstruksi ideologis yang menyembunyikan lebih banyak daripada yang ia ungkap? Atas dasar pertanyaan ini, melalui tulisian ini saya menyeru untuk melakukan gerakan meragukan posisi babad sebagai teks sejarah murni dan mengajukan pendekatan kritis untuk menelanjangi babad sebagai produk kekuasaan, sebagai alat penata identitas yang terkontrol, serta sebagai narasi hegemonik yang mengatur apa yang layak diingat dan apa yang harus dilupakan dalam ruang budaya Sasak.

Meragukan babad bukanlah tindakan pengingkaran terhadap warisan leluhur, melainkan langkah epistemologis untuk membongkar cara kekuasaan masa lampau dan masa kini bekerja melalui narasi hegemonik di tengah orang Sasak. Dalam konteks ini, teori kritik sejarah Michel Foucault menjadi alat pembuka untuk membaca babad bukan sebagai cermin masa lalu, melainkan sebagai rezim kebenaran. Dengan kata lain, semua babad tersebut hampir sepenuhnya menarasikan tentang kaum elit dan meniadakan peran besar kaum bawah dalam pembentukan sejarah dan manusia Sasak.

Foucault menyatakan bahwa sejarah tidak pernah bebas dari kuasa, karena narasi tentang masa lalu adalah hasil kerja wacana yang dibentuk oleh kekuatan politik, sosial, dan kultural. Dalam babad Sasak, kita menemukan hal yang sama. Narasi tentang lahirnya kerajaan Laeq, Suwung, Pamatan, kerajaan Lombok, Selaparang, Pejanggik, Perang Sakra, Perang Praya, pernikahan mistis antara bangsawan dengan jin, serta dominasi budaya luar terhadap pulau ini disusun tidak sepenuhnya sebagai fakta sejarah melainkan sebagai legitimasi struktur kekuasaan yang sedang atau telah berkuasa. Dalam kerangka ini, babad menjadi arena tempat para elit menyusun legitimasi melalui cerita, menyelubungi kekuasaan dengan kesakralan, dan menyingkirkan narasi tandingan yang mengganggu stabilitas kekuasaan mereka.

Lebih jauh, Maurice Halbwachs dan Paul Ricoeur memperkenalkan gagasan tentang ingatan kolektif yang terstruktur secara sosial. Menurut Halbwachs, masyarakat hanya mengingat hal-hal tertentu yang dibentuk melalui struktur sosial yang ada. Ingatan bukanlah sesuatu yang netral atau alami, melainkan dibentuk oleh apa yang disebut sebagai kerangka sosial memori. Dalam babad Sasak, hal ini terlihat jelas. Yang diingat adalah kisah para bangsawan dengan mitos leluhur, pemimpin sakti, pahlawan lelaki, wanita cantik nan suci, serta momen momen besar yang menguntungkan tatanan dominan.

Sementara yang dilupakan adalah suara perempuan desa, pengalaman rakyat jelata, kekalahan budaya minoritas, peran kaum bawah, dan jejak subaltern yang tidak sesuai dengan struktur dominan. Babad tidak terlalu mencatat penderitaan petani, pertentangan dari rakyat jelata tentang kasta yang dibungkus mitos, atau keberadaan komunitas Sasak marginal di luar sistem kekuasaan. Ingatan kolektif dalam babad telah diatur sedemikian rupa untuk menjaga narasi agung yang menguntungkan sebagian pihak dan melupakan kenyataan yang tidak menyenangkan. Lupa dalam konteks ini bukan berarti ketiadaan, melainkan hasil kerja ideologis yang sengaja diproduksi.

Baca Juga :  Deep Learning Perlu untuk Semua Jenjang Pendidikan

Hal ini membawa kita pada ranah poskolonial, terutama pada gagasan Edward Said tentang orientalisme dan Homi Bhabha tentang hibriditas. Dalam konteks Sasak, babad tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang interaksi dengan Bali, Jawa, Islam, dan kolonialisme Belanda. Babad yang kita warisi hari ini bukanlah teks murni dari masyarakat lokal yang otonom, melainkan teks yang telah melewati proses kolonialisasi budaya. Ia menyerap nilai nilai luar, mengadopsi struktur kekuasaan asing, dan menyusun ulang identitas lokal agar sesuai dengan nilai nilai hegemonik yang dibawa oleh penguasa.

Dalam keseluruhan proses tersebut, babad menjadi teks hibrid yang sarat negosiasi. Babad menempatkan kehidupan Sasak elit sebagai puncak peradaban kemudian menyudutkan kaum bawah sebagai cara hidup orang Sasak yang tidak menguntungka. Bahayaanya, kehidupan elit tersebut banyak yang menyimpang, tidak masuk akal namun karena elit akhirnya diterima sebagai kebenaran, lalu dijadikan sebagai dasar untuk mengonstruksi sejarah dan manusia Sasak. Pada hujungnya, para pemenang dengan kekuasaannya meski berlumuran darah dan amoral berhasil menulis ulang sejarah interaksi budaya sebagai dominasi dari luar ke dalam.

Dalam posisi tersebut kita menemukan orientalisme internal, yaitu proses konstruksi narasi tentang yang lain di dalam masyarakat sendiri. Elit Sasak sebagai asli Sasak sedangkan kaum bawah sebagai Sasak yang menumpang di kampung halaman sendiri. Komunitas adat yang rendah hati, kelompok spiritual lokal yang taat, perempuan desa yang murni, dan minoritas budaya dikonstruksi secara inferior adan kelompok yang diorientalisasi sebagai kelompok yang belum tercerahkan kemudian ditempatkan dalam posisi subordinat.

Maka dari itu, meragukan babad-babad Sasak adalah upaya untuk membongkar mitos sejarah yang telah dilembagakan. Mitos ini hidup dalam berbagai bentuk. Ia menjadi dasar legitimasi adat, ia mengatur siapa yang disebut keturunan bangsawan dan siapa yang tidak, ia membenarkan penguasaan tanah, ia menjustifikasi praktik feodal dalam masyarakat, dan ia memproduksi hierarki sosial yang tidak bisa digugat karena dianggap berasal dari masa silam yang sakral. Namun seperti yang kita tahu dari Foucault, sakralitas sering kali adalah bentuk pengaburan dari kerja kuasa. Sesuatu menjadi sakral justru karena ia tidak ingin dipertanyakan. Babad-babad Sasak telah menjadi sakral dalam pengertian ini. Ia ditempatkan di ruang tinggi, dijaga oleh lembaga adat, dituturkan dengan kebanggaan, tetapi tidak pernah dibaca secara kritis. Narasi dalam babad telah berubah menjadi hukum budaya. Kemudian hukum tersebut bekerja tanpa perlu penegasan ulang. Sengaja diatur sedemikian rupa agar tidak perlu penalaran, argumentasi, dan diskursus kritis. Pola hegemonik semacam ini telah tertanam dalam cara berpikir kolektif masyarakat Sasak.

Jika kita ingin menyusun kembali sejarah masyarakat Sasak secara lebih adil dan terbuka, maka kita harus mulai dengan meragukan teks-teks hegemonik seperti babad. Keraguan ini bukan sekadar skeptisisme kosong, melainkan metode kritis yang membebaskan. Kita perlu membuka ruang bagi narasi narasi tandingan, narasi yang datang dari mereka yang disingkirkan dari babad. Kita perlu menanyakan di mana suara perempuan Sasak desa dalam babad, di mana kisah petani dan nelayan, di mana pengalaman kekalahan dan keterjajahan, di mana ingatan tentang komunitas adat yang tak sejalan dengan feodalisme dan hegemoni elit. Di mana juga peran seniman-budayawan, para belian, para perompak, para pelacur, para koruptor, para tengkulak, para pengayah dalam babad tersebut?

Semua pertanyaan ini penting, karena hanya dengan mendengarkan suara yang diredam kita bisa memperoleh pemahaman yang utuh tentang masa lalu. Melalui orang yang dipinggirkan dalam babad-babad Sasak kita akan mengetahui secara utuh relasi sejarah dan manusia Sasak secara adil. Siapa pejuang sejati Sasak dan siapa pula penghianat yang asli. Bahkan kita bisa melihat dengan terang-benderang siapa bangsawan yang benar, bangsawan abal-abal, siapa kaum bawah yang sebenarnya bangsawan, siapa yang keturunan Sasak, siapa keturunan Bali yang mengaku Sasak? Siapa kelompok yang paling diuntungkan penjajah? Dengan begitu maka kita telah menempatkan pemahaman yang benar di mana sejarah bukan hanya milik pemenang, dan babad tak boleh menjadi satu satunya pintu menuju masa silam.

Baca Juga :  Pekan Teater Pelajar NTB: Karena Sasentra Ialah Api Yang Tak Pernah Padam

Sebagian pihak mungkin menolak pendekatan ini dengan dalih menjaga kearifan lokal atau menghormati tradisi. Namun penghormatan yang tidak kritis justru berbahaya, karena ia memelihara kebekuan berpikir dan menutup kemungkinan pembaruan. Tradisi bukan monumen beku, melainkan arena hidup yang harus terus dinegosiasikan. Mengkritik babad bukan berarti membuangnya, tetapi menyusunnya kembali dengan kesadaran baru bahwa setiap teks adalah hasil kerja ideologi. Bahkan dengan memahami konstruksi kuasa dalam babad, kita justru dapat memperkaya khazanah budaya Sasak dengan narasi-narasi alternatif yang selama ini tersembunyi. Kritik adalah bagian dari komitmen, dan komitmen warisan budaya berarti juga berani membongkar mitos yang membungkusnya.

Babad bukan hanya teks, tetapi juga perangkat performatif yang bekerja dalam kehidupan sosial sehari-hari. Ia menjadi dasar pembentukan struktur kasta, peran gender, otoritas adat, dan bahkan legitimasi politik lokal. Dalam banyak kasus, identitas seseorang ditentukan oleh seberapa dekat ia dengan narasi babad. Jika ia berasal dari garis keturunan yang disebut dalam babad, maka ia memperoleh status sosial yang lebih tinggi. Jika tidak, maka ia dianggap warga pinggiran. Di sinilah babad berubah menjadi alat klasifikasi sosial yang meneguhkan ketimpangan. Narasi tentang kesaktian dan keturunan agung dalam babad telah berubah menjadi sistem yang membatasi mobilitas sosial dan membungkam kritik terhadap hierarki adat. Maka kita perlu bertanya, apakah kita akan terus membiarkan teks sejarah yang belum tentu benar karena dikontruksi oleh kekuasaan itu menjadi instrumen pembekuan sosial orang Sasak?

Di tengah dunia yang terus berubah, masyarakat Sasak membutuhkan pendekatan baru terhadap warisan budayanya. Kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang mitos sejarah yang tidak kita pertanyakan. Kita perlu menyusun historiografi baru yang lebih inklusif, kritis, dan berbasis pada keadilan ingatan. Ini berarti membuka arsip sejarah yang lebih luas, mendengarkan suara-suara dari pinggiran, serta membaca ulang babad bukan sebagai kebenaran mutlak tetapi sebagai teks budaya yang harus ditafsirkan ulang. Tugas ini bukan hanya milik akademisi, tetapi juga milik pemerintah, seniman, budayawan, aktivis, dan masyarakat Sasak luas dan tanpa batasan. Hanya dengan membongkar teks hegemonik seperti babad, kita bisa membangun ruang ingatan kolektif yang adil dan demokratis.

Pada akhirnya, keraguan terhadap babad bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap budaya. Bukan peniadaan kepada manusia Sasak itu sendiri. Melainkan bentuk tanggung jawab intelektual untuk mengembalikan sejarah kepada masyarakat Sasak secara utuh. Tanpa dinding biru dan bukan biru. Tanpa jurang elit dan bawah.

Kita harus berani mengatakan bahwa babad-babad Sasak tidaklah netral. Babad tersebut bukan pusat kebenaran yang tunggal. Babad tersebut disusun dalam konteks kuasa. Babad-babad Sasak itu melupakan banyak hal secara sengaja dan sistematis. Kita mesti berani terbuka dalam membaca ulang babad tersebut dengan cara yang lebih manusiawi.

Sejarah dan manusia Sasak bukan milik teks, tetapi milik semua yang pernah hidup dan terluka, pernah menang dan kalah. Dalam pengertian inilah, kita harus terus bertanya, terus menggali, dan terus meragukan setiap narasi yang mengklaim dirinya sebagai satu satunya kebenaran. Sebab dalam ruang keraguan itulah kebenaran yang lebih adil dapat dilahirkan di tengah orang Sasak.

 

Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media

Malaysia, 4 Mei 2025

Berita Terkait

Deep Learning Perlu untuk Semua Jenjang Pendidikan
Pekan Teater Pelajar NTB: Karena Sasentra Ialah Api Yang Tak Pernah Padam
Belajar Cinta dan Kepercayaan dari Mangrove
Begitu Pentingnya Lombok Bagi Bali: Kuasa Mitos Kupu-kupu Kuning yang Terus Diproduksi
Gubernur Iqbal Memerlukan Humor Komedian
Sasak Kini Tidak Asli: Dekonstruksi Klaim Keaslian Elit
Elitisasi Sejarah Sasak: Bercermin pada Teater Cupak Gerantang
Teori Melankolia Musik Sasak: Suara dari Luka Kultural

Berita Terkait

Kamis, 22 Mei 2025 - 20:30 WITA

Sekjen Kemendagri Perintahkan Pemda Siapkan Lahan untuk Program MBG

Jumat, 16 Mei 2025 - 21:04 WITA

Kemenpar Segera Terbitkan Regulasi Baru untuk Wisata Edukasi

Kamis, 15 Mei 2025 - 18:11 WITA

Australia Dukung Penuh Indonesia Masuk OECD dan CPTPP, Albanese: Peran Sentral di Indo-Pasifik

Kamis, 15 Mei 2025 - 16:55 WITA

Dewan Pers Ungkap 87 Persen Jurnalis Perempuan Alami Kekerasan Seksual Digital

Kamis, 15 Mei 2025 - 15:38 WITA

Prabowo Apresiasi Kebijakan Visa 5 Tahun dan Kerja Sama Pendidikan dengan Australia

Kamis, 15 Mei 2025 - 14:24 WITA

Komaruddin Hidayat Terpilih sebagai Ketua Dewan Pers 2025-2028, Hadapi Tantangan Disrupsi Digital 

Jumat, 9 Mei 2025 - 14:06 WITA

Kopdes Merah Putih Menjadi Distributor LPG, Pupuk, dan Sembako

Kamis, 8 Mei 2025 - 17:11 WITA

Di Usia ke-79, BIN Didorong Perkuat Intelijen Digital dan Analisis Prediktif

Berita Terbaru

Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, M. Si . (Foto: Lombokini.com/Istimewa).

Opini

Deep Learning Perlu untuk Semua Jenjang Pendidikan

Jumat, 23 Mei 2025 - 15:15 WITA