LOMBOKINI.com – Penambangan terus merusak wilayah Lombok Timur (Lotim) dari hari ke hari. Kawasan yang sebelumnya hijau dan rimbun kini berubah gundul. Para penambang menggerus bukit-bukit tinggi hingga menjadi lubang besar. Bahkan, mereka mulai menambang kaki Gunung Rinjani di Sembalun.
Para penambang, baik legal maupun ilegal, kerap mengeksploitasi pasir, batu, sirtu, dan pasir besi di Lotim. Banyak penambang ilegal beroperasi karena prosedur perizinan yang rumit. Mereka sering memulai aktivitas sebelum izin resmi terbit. Pemerintah Daerah (Pemda) kesulitan menindak karena kewenangan izin berada di Pemerintah Provinsi (Pemprov).
Limbah tambang mencemari lahan pertanian warga. Pemda Lotim dan Pemprov NTB saling menyalahkan, terutama di wilayah Pringgabaya, Suralaga, dan Labuhan Haji. Para petani menolak membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sebagai bentuk protes terhadap kerusakan sawah akibat limbah tambang.
Petani Menanggung Dampak Kerusakan
Amaq Mah, petani dari Subak Lendang Mudung, Pringgabaya, mengeluhkan lambannya pemerintah menangani keluhan mereka. Selama bertahun-tahun, para petani meminta agar limbah lumpur dan batuan tidak dibuang ke lahan pertanian, tetapi tidak ada solusi nyata.
Limbah tambang menurunkan produktivitas lahan di Subak Lendang Mudung secara drastis. Banyak petani, seperti Muhdar Amin yang menanam bawang merah, mengalami gagal panen selama lima tahun terakhir. Pencemaran membuat tanah menjadi tandus dan merusak tanaman.
Pemerintah Dinilai Lamban Bertindak
PJ Bupati Lotim, HM Juaini Taufik, hanya memberikan respons normatif ketika ditanya tentang masalah ini. Padahal, masyarakat menuntut tindakan tegas. Juaini mengaku telah bertemu dengan Asosiasi Penambang untuk membahas dampak aktivitas tambang terhadap pertanian.
Ia menegaskan bahwa Pemda tidak memihak penambang atau petani, tetapi menginginkan solusi berkelanjutan. Menurutnya, para penambang seharusnya mengendapkan limbah cucian pasir sebelum membuangnya agar tidak mencemari lingkungan. Namun, banyak penambang mengabaikan aturan ini.
Juaini lebih memilih pendekatan dialog daripada penegakan hukum karena sebagian besar penambang merupakan warga Lotim. Sementara itu, masalah perizinan sepenuhnya menjadi kewenangan Pemprov NTB.
Penambang Ilegal Masih Berkeliaran
Banyak penambang ilegal beroperasi secara sembunyi-sembunyi. Mereka berhenti saat petugas melakukan sidak, tetapi kembali bekerja di malam hari.
Mantan Bupati Lombok Timur, H. Moch. Ali Bin Dachlan (Ali BD), mengkritik lemahnya penindakan oleh aparat penegak hukum (APH). Ia menilai adanya pembiaran karena hingga kini masih banyak penambang ilegal yang bebas beroperasi.
“Kalau mau menegakkan hukum, ya harus ditegakkan!” tegas Ali BD.
Ia juga menyoroti birokrasi perizinan yang berbelit-belit setelah kewenangan beralih dari kabupaten ke provinsi. “Orang mau mengurus izin, malah dilempar ke sana-sini,” ujarnya.
Upaya Penertiban yang Belum Membuahkan Hasil
Tim Harmonisasi Lombok Timur, terdiri dari Dinas Lingkungan Hidup, Satpol PP, dan TNI/Polri, pernah menggelar sidak ke tambang ilegal di Korleko, Labuhan Haji, pada 5 Januari 2023. Ketua Tim saat itu, Mahsin, menemukan 23 penambang yang menggunakan air Sungai Kali Rumpang, baik yang berizin, izinnya sudah mati, maupun ilegal sama sekali.
Lumpur dari pencucian pasir menyebabkan sedimentasi yang merusak sawah warga. Mahsin berjanji menertibkan penambang yang melanggar SOP, seperti yang pernah dilakukan pada 2021. Namun, hingga akhir tahun 2023, masalah pencemaran lingkungan di Lotim masih belum terselesaikan.
Kondisi ini terus berlanjut di berbagai kecamatan di Lotim, membuktikan bahwa upaya penertiban belum efektif. ***
Penulis : Najamudin Anaji