Oleh: Salman Faris
Dalam banyak hal, kita mungkin sering berpikir bahwa kita bisa melakukan begitu banyak hal. Dalam banyak perkara, kita mungkin sering meyakinkan diri bahwa kita boleh melakakukan tak terbatas perkara. Ya, mungkin kita sering berpikir, kalau hanya seperti itu tugas seorang presiden, tugas seroang gubernur, tanggung jawab seorang kepala OPD, saya juga bisa.
Berpikir seperti itu, tentu saja dibenarkan. Namun di balik keyakinan kita bisa melakukan dan bisa menjadi apa yang diduduki orang lain, kita wajib menyadari, banyak yang tidak boleh kita lakukan. Banyak tempat, banyak jabatan yang kita tidak boleh ambil dan jalani, meskipun kemampuan kita lebih tinggi dibanding mereka yang menduduki posisi tersebut. Sebab sebagai manusia, kita mesti mempunyai kesadaran kemampuan mumpuni saja, tidaklah cukup untuk menjabat. Manusia mesti menyadari batas yang boleh dan batas yang bisa dengan yang tak boleh dan yang tidak bisa.
Secara sederhana itulah yang bisa dimaksudkan sebagai kesadaran nilai, kesadaran etika moral. Kita bisa memukul orang kapan dan di mana saja, namun tidak berarti kita memukul orang tersebut. Sebab kita sadar, ada yang lebih tinggi di atas peluang, di atas kemampuan, di atas kekuasaan.
Secara hukum positif dan syarat normatif, kita sangat memenuhi syarat untuk menduduki posisi tertentu. Namun syarat normatif bukan satu-satunya rujukan untuk membuat keputusan mendudukui jabatan tersebut. Karena ada satu prinsip, ada nilai, ada etika moral yang kita junjung, maka syarat normatif itu kita ketepikan agar terjadi keseimbangan sosial.
Pesan itulah, setidakanya yang mau disampaikan tulisan ini agar tidak setiap kekuatan kita selalu konversikan menjadi kekuasaan. Agar tidak setiap kemampuan tidak kita tukarkan dengan jabatan. Agar tidak setiap apa yang boleh kita wujudkan dalam realisasi kemauan. Inilah yang menjadi sumbu utama manusia beradab. Juga menjadi dasar penyangga negara yang berkeadaban. Tahu diri lebih tinggi nilainya dibanding harga jabatan yang bisa kita dapati.
Pertanyaan yang berulang-ulang diajukan adalah apakah gubernur NTB harus menggeser Irnadi lalu menggelar seleksi ulang untuk posisi yang sama? atau bagaimana seharusnya langkah yang ditempuh? Bagi saya, cara berpikir seperti ini menyimpan kelemahan serius, sebab menempatkan gubernur NTB sebagai sosok tunggal yang harus selalu memberi solusi. Seolah-olah semua persoalan birokrasi dan etika pemerintahan hanya bisa diselesaikan dengan keputusan satu orang. Padahal, justru inti dari demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik adalah adanya kesadaran individu dan tanggung jawab moral dari setiap pejabat publik.
Selain itu, selalu menempatkan hukum normatif sebagai arus utama akan membuat kita gagal menemukan ribuan alternatif di balik jalan tunggal. Kenapa kita tidak melihat masalah atau polemik pengangkatan Irnadi sebagai salah seorang kepala di lingkup pemerintah provinsi NTB dari Irnadi sendiri?
Setidaknya, itulah yang saya maksdukan seharusnya Irnadi sendiri menjadi solusi. Dari awal, ia mestinya menyadari bahwa dirinya tidak memenuhi syarat substantif untuk ikut serta dalam seleksi jabatan di Pemprov NTB. Memang secara formal-normatif, ia boleh ikut seleksi. Bahkan, seperti yang diketahui umum, hasilnya menunjukkan nilai yang baik. Namun, sekali lagi pendekatan formal-normatif tidak pernah cukup dijadikan satu-satunya dasar pertimbangan.
Di atas semua peraturan administratif, selalu ada nilai moral, etika publik, dan tanggung jawab sosial yang lebih tinggi. Pejabat publik yang baik adalah mereka yang mampu membaca bukan hanya aturan di atas kertas, tetapi juga norma etis yang hidup dalam kesadaran masyarakat. Di samping memiliki hak untuk mencapai jabatan tertinggi, birokrasi juga mempunyai kewajiban dalam masa yang sama untuk membaca arus sosial, memahami psikologi masyarakat.
Andai Irnadi sejak awal menimbang dirinya secara jujur dan obyektif, ia tentu paham bahwa keikutsertaannya bisa menjadi persoalan, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi gubernur NTB dan citra pemerintahan secara umumnya. Dengan kesadaran seperti itu, ia dapat mengambil keputusan yang lebih elegan, lebih bijaksana dan lebih tinggi akar kearifannya, yakni tidak mendaftarkan diri, meski peluang secara formal tersedia.
Namun amat disayangakn, rupanya itulah bentuk kedewasaan etika yang justru semakin langka dalam birokrasi kita, di mana orang lebih sibuk mengejar posisi, prestise, dan kedudukan, ketimbang mempertimbangkan pantas atau tidaknya mereka menduduki jabatan tertentu.
Hanya saja, semua itu sudah lewat. Karena hasil seleksi Irnadi memenuhi syarat, pelantikan pun terjadi. Karena itu, ketika publik kemudian mempertanyakan dan mempermasalahkan keberadaannya, langkah yang seharusnya diambil bukanlah menunggu gubernur NTB turun tangan, melainkan menoleh pada asas yang lebih tinggi, yakni nilai dan etika moral.
Irnadi mestinya segera sadar bahwa jabatan tidak ada artinya bila ia memicu kontroversi, mencederai kepercayaan masyarakat, dan menimbulkan citra buruk pada lembaga pemerintahan. Kesadaran moral yang murni akan mendorongnya untuk segera mengambil keputusan yang sederhana tetapi terhormat yaitu mengundurkan diri.
Dengan sikap demikian, Irnadi tidak hanya menyelamatkan diri, tetapi juga membasuh nama gubernur NTB dari dilema politik dan administrasi. Ia sekaligus memberi contoh bahwa pejabat publik masih bisa memegang teguh kehormatan diri dan integritas. Sesuatu yang jauh lebih mahal daripada sekadar jabatan.
Oleh karena itu, bagi saya, solusi terbaik bukan menunggu gubernur NTB menggeser Irnadi. Bukan pula membuang energi untuk membuat seleksi ulang. Solusi terbaik justru ada pada Irnadi sendiri. Mundur dari jabatan yang diberi.
Memang, tidak ada seorang pun yang berhak meminta Irnadi mundur karena menjabat ialah haknya sebagai birokrat. Namun seperti yang saya katakan di awal, hak kita untuk bisa membuat apa pun, tidak berarti membolehkan kita untuk mengambil segalanya.
Saya tahu, tulisan saya ini amat kecil kemungkinan untuk mengubah pendirian Irnadi. Dan tentu saja itu semakin menguatkan pikiran publik bahwa birokrat kita memang kurang rasa malunya. Malu tidak harus karena kita salah, tetapi setinggi-tinggi rasa malu ialah karena kita benar. ***
Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media
Malaysia, 24 September 2025.
Penulis : Dr. Salman Faris







