Oleh: Salman Faris
Tulisan ini disusun berdasarkan pengalaman empirik yang berulang kali dialami saat kembali ke Lombok. Dalam setiap penerbangan, mayoritas penumpang didominasi oleh wisatawan mancanegara. Fenomena terbaru menunjukkan peningkatan signifikan jumlah wisatawan asal Tiongkok yang mulai membanjiri Lombok. Mereka tampak antusias dan menunjukkan semangat eksploratif yang tinggi, seolah tidak sabar untuk segera menyelami pesona alam dan budaya yang ditawarkan pulau para sufi ini.

Pulau Lombok telah lama dikenal sebagai salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia. Keindahan bentang alamnya, mulai dari pantai-pantai berpasir putih di selatan, lereng Rinjani yang memesona, hingga desa-desa adat yang masih hidup dalam ritus tradisi, menjadikannya lanskap yang menyimpan daya pikat global. Data resmi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat (Antaranews.com, ekbisntb.com) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, jumlah wisatawan mancanegara yang masuk melalui Bandara Internasional Lombok (Bizam) mengalami fluktuasi, dengan angka tertinggi pada bulan Juli sebanyak 8.652 orang dan terendah pada bulan November sebanyak 4.947 orang. Dari data resmi yang dirilis oleh beberapa institusi kredibel, tampak bahwa Eropa menyumbang mayoritas pelancong asing, disusul oleh negara-negara ASEAN, Asia lainnya, dan bahkan Oseania serta Afrika.
Akan tetapi, di balik euforia statistik dan narasi kemajuan tersebut, terdapat ironi mendalam yang mencerminkan ketimpangan antara daya tarik pariwisata Lombok dan karakter pengelola pariwisata yang masih bertumpu pada watak lokal dalam pengertian yang stagnan dan sempit. Watak lokal yang dimaksud di sini bukanlah bentuk identitas kebudayaan yang hidup, adaptif, dan terbuka pada perubahan, melainkan sebuah pola mentalitas yang cenderung inward-looking, lamban merespons dinamika global, dan terjebak dalam prosedur yang bertele-tele serta administratif belaka. Di titik inilah kita menyaksikan kontras tajam antara Lombok mendunia dan para pengelola pariwisata yang masih berkutat dalam praktik manajerial yang tidak menembus batas-batas lokalitas.
Kesan wisatawan terhadap Lombok hampir selalu menggembirakan. Keindahan alam, keramahan penduduk, serta kekayaan budaya lokal meninggalkan impresi mendalam. Testimoni dari para pelancong, baik yang tersebar di berbagai platform digital maupun laporan resmi dari Dinas Pariwisata NTB, menyiratkan kekaguman yang konstan terhadap kekayaan alam dan spiritualitas budaya Lombok. Namun, pengalaman-pengalaman positif itu seringkali diiringi oleh keluhan terhadap sistem pelayanan yang tidak efisien, buruknya koordinasi antarlembaga, serta fasilitas pendukung pariwisata yang ketinggalan zaman. Dalam hal ini, narasi tentang Lombok sebagai surga wisata menjadi paradoks ketika bertemu dengan kenyataan tentang lemahnya pengelola pariwisata yang seharusnya menjadi tulang punggung pelayanan wisatawan. Fenomena ini menyingkap satu persoalan utama: ketimpangan antara kemenduniaan Lombok sebagai objek, dan kelokalan yang sempit sebagai subjek pengelola pariwisata.
Lebih dari sekadar kendala teknis, permasalahan ini mencerminkan hadirnya watak lokal dalam pengertian struktural: cara berpikir yang cenderung menerima keadaan sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, enggan melakukan inovasi jika tidak ditekan oleh krisis, serta tidak memiliki dorongan internal untuk menembus batas-batas kebiasaan. Watak lokal dalam konteks ini bukanlah identitas etnis, melainkan konfigurasi mentalitas birokrasi yang terikat pada ritus-ritus formalitas tanpa upaya transformatif. Di sinilah persoalan krusial muncul: ketika sistem pariwisata bertumpu pada manusia yang masih terpaku pada cara kerja lama, maka pencapaian global Lombok justru terhambat oleh karakter pengelola yang tidak siap mendunia.

Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (BIZAM), misalnya, menjadi cerminan paling konkret dari ironi ini. Cerminan utama jurang antara performativitas pariwisata mendunia dan kelemahan sistemik dalam pelayanan berwatak lokal. Pengambilan bagasi yang berlangsung sangat lambat bukan semata akibat volume penumpang yang besar, melainkan karena sistem conveyor belt yang usang dan tak canggih. Mesin-mesin bergerak pelan, berguncang kasar, dan acap kali mengalami jeda tak wajar karena tidak diperbarui secara periodik.. Hal ini menimbulkan antrean panjang yang tidak perlu dan menciptakan pengalaman awal yang buruk bagi wisatawan yang baru saja mendarat. Apa yang seharusnya menjadi gerbang selamat datang yang hangat dan profesional, justru menjadi arena frustrasi awal karena keterbatasan infrastruktur yang dibiarkan tanpa inovasi. Hal ini mengindikasikan betapa persoalan teknis di Lombok kerap kali berakar pada pola pikir administratif yang tidak adaptif terhadap dinamika global.
Di titik imigrasi, persoalan lain menanti. Antrean panjang seringkali bukan disebabkan oleh lonjakan penumpang, tetapi karena keterbatasan jumlah petugas. Kurangnya tenaga kerja di sektor krusial ini memperlambat proses verifikasi dokumen, menambah waktu tunggu, dan menurunkan efisiensi pelayanan. Lebih ironis lagi, hal ini bukan merupakan kejadian temporer atau situasional, tetapi telah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang tanpa adanya penanganan struktural yang berarti. Ketika hal-hal semacam ini dibiarkan dan tidak ditanggapi sebagai bagian integral dari sistem pariwisata, maka yang tampak adalah suatu bentuk pengelolaan yang bersandar pada pembiaran struktural.
Salah satu contoh yang mencolok lainnya adalah proses pengisian dokumen kesehatan dan bea cukai. Meskipun secara teknis telah dilengkapi dengan kode QR sebagai bentuk digitalisasi, pelaksanaannya tetap tidak efisien secara struktural. Wisatawan yang tidak memiliki akses internet saat kedatangan, terutama mereka yang berasal dari negara dengan sistem roaming terbatas atau perangkat tidak kompatibel pada akhirnya tetap harus mengisi formulir secara mengantri. Ini memperpanjang waktu di ruang bagasi dan menambah beban kerja petugas yang jumlahnya juga terbatas.
Dalam praktiknya, pengisian digital ini hanya menjadi tambahan dari prosedur lama, bukan pengganti yang efisien. Ironisnya, belum ada inisiatif konkret dari otoritas bandara atau instansi terkait untuk menjalin kerja sama dengan maskapai penerbangan agar formulir tersebut dapat diisi terlebih dahulu oleh penumpang sebelum keberangkatan (bukankah koder QR yang disebar di ruang bagasi itu dapat disebar dengan kerjasama bersama maskapai?). Tentu saja jika hal ini dapat dilaksanakan, maka banyak prosedur administratif dapat diselesaikan dalam penerbangan sehingga kedatangan menjadi lebih lancar dan tertib. Dalam ketiadaan imajinasi ini, kita melihat bahwa problematika yang ada bukan sekadar teknis atau logistik, tetapi mencerminkan krisis dalam cara berpikir yang masih belum mampu melampaui batas-batas lokalitas. Watak lokal, dalam hal ini, menjadi penghalang bagi lahirnya imajinasi yang menembus batas dunia.
Pelayanan publik bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga manifestasi dari relasi kuasa, etos kerja, dan orientasi nilai. Kelemahan dalam pelayanan bandara bukan hanya kegagalan manajerial, tetapi juga produk dari struktur budaya yang belum menempatkan kepuasan pengguna sebagai poros utama. Watak lokal sering kali menormalkan keterlambatan, menganggapnya sebagai hal biasa, dan bahkan mencurigai perubahan sebagai ancaman terhadap stabilitas. Dalam hal ini, watak lokal tidak lagi menjadi aset, tetapi menjelma menjadi beban kultural yang melambatkan gerak pembangunan pariwisata Lombok mendunia.
Lombok, sebagai ruang yang telah diposisikan secara global, membutuhkan subjek pengelola yang memiliki watak mendunia, yakni manusia yang tidak hanya mampu bekerja secara profesional, tetapi juga memiliki daya imajinasi untuk memetakan masa depan yang tidak bergantung pada kebiasaan masa lalu. Watak mendunia bukan berarti meninggalkan nilai-nilai lokal, melainkan kemampuan untuk menafsirkan nilai tersebut dalam kerangka global yang lebih luas. Ini memerlukan sensitivitas budaya sekaligus kemampuan teknologi: keberanian bertindak sekaligus keluwesan berpikir.
Gagasan tentang manusia dengan watak mendunia harus menjadi kerangka kerja utama dalam merancang kebijakan pariwisata di Lombok. Tidak cukup dengan program pelatihan atau peningkatan SDM dalam bentuk formalistik. Yang dibutuhkan adalah pembentukan subjek yang mampu bergerak lintas batas, baik secara ide maupun praktik. Subjek yang tidak terjebak pada mentalitas administratif sempit, tetapi mampu melihat dirinya sebagai bagian dari sirkulasi global, dan karena itu bertanggung jawab pada standar dunia, bukan hanya pada aturan lokal.
Watak mendunia juga menuntut kesediaan untuk berpikir lintas institusi. Koordinasi antara Dispar NTB, pengelola bandara, maskapai, dan lembaga imigrasi seharusnya tidak terhambat oleh ego sektoral. Namun, yang kerap terjadi adalah disfungsi koordinasi yang memperlihatkan bahwa masing-masing institusi masih berdiri pada menara gadingnya sendiri. Situasi ini mempertegas bahwa kegagalan pariwisata di tingkat mikro berakar pada kegagalan membangun kesadaran kolektif untuk melayani publik secara holistik.
Dengan demikian, transformasi sektor pariwisata di Lombok menuntut lebih dari sekadar pembangunan fisik atau promosi berskala besar. Ia memerlukan revolusi watak. Watak lokal yang selama ini dijadikan kebanggaan perlu dikaji ulang dalam konteks global. Apakah ia berkontribusi pada kemajuan atau justru menjadi hambatan. Watak lokal yang tidak adaptif terhadap perubahan global harus digantikan oleh etos kerja baru yang berpijak pada keterbukaan, profesionalisme, dan keberanian untuk menembus sekat-sekat lama.
Watak mendunia bukanlah produk dari pendidikan formal semata, melainkan hasil dari latihan imajinasi dan pembentukan kesadaran historis. Lombok tidak memerlukan lebih banyak slogan atau festival. Ia memerlukan manusia yang berpikir jauh ke depan, melampaui prosedur standar, dan bersedia membawa nilai lokal menuju panggung global dengan cara kerja yang bertanggung jawab.
Watak mendunia ini tidak mengingkari lokalitas, tetapi menempatkan lokalitas dalam posisi yang mampu bernegosiasi, berinovasi, dan bertransformasi. Ia melampaui batas-batas administratif, menggabungkan kreativitas dengan teknologi, serta memosisikan pariwisata sebagai sebuah ekosistem pelayanan yang berpusat pada pengalaman manusia. Tanpa visi semacam ini, kemajuan pariwisata Lombok akan terus-menerus terhambat oleh kelemahan institusional dan mentalitas manajerial yang tidak progresif.
Dengan demikian, tantangan utama pariwisata Lombok bukan lagi sekadar membangun infrastruktur fisik atau meningkatkan promosi internasional. Yang lebih krusial adalah membangun struktur imajinatif yang memungkinkan pelayanan pariwisata bertumbuh selaras dengan citra global yang telah lebih dahulu dimiliki oleh Lombok. Ini bukan hanya soal memperbaiki sistem bagasi, menambah petugas imigrasi, atau mempercepat proses bea cukai. Ini juga bukan semata-mata merombak total Dinas Pariwisata NTB. Ini adalah soal keberanian kolektif semua orang Lombok untuk melepaskan diri dari pola lama yang merugikan dan membentuk pola baru yang lebih cerdas mendunia, adaptif, dan manusiawi.
Lombok adalah ruang yang telah membuka dirinya kepada dunia. Maka sudah sepatutnya ia diurus oleh manusia yang memiliki kapasitas dan keberanian untuk berdiri setara dengan dunia. Sebab keindahan semata tidak cukup untuk menjamin kemajuan. Yang menentukan adalah siapa yang mengelola, dengan cara seperti apa, dan dengan watak seperti apa. Di sinilah letak pertaruhan masa depan pariwisata Lombok: pada keberanian untuk menumbuhkan manusia dengan imajinasi mendunia, yang sanggup membawa Lombok keluar dari jebakan kelokalan yang sempit menuju masa depan yang kosmopolit dan berdaya saing tinggi.
Rensing-Bonder, 21 April 2025.
Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media
Penulis : Salman Faris