Oleh: Salman Faris
Teater Cupak Gerantang merupakan kesenian tradisional Sasak yang pertama kali saya pelajari secara akademik. Topik ini menjadi pintu masuk yang mengantarkan saya menyelesaikan pendidikan sarjana dalam bidang seni pertunjukan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dalam waktu relatif singkat. Pada masa itu, paradigma yang saya gunakan masih berada dalam kerangka positivis, dengan fokus utama pada perubahan bentuk dan fungsi teater Cupak Gerantang sebagai manifestasi seni tradisional. Pendekatan tersebut saya anggap sebagai tolok ukur kemampuan analitis yang sahih pada masa awal pembelajaran akademik saya.
Seiring perkembangan intelektual dan dinamika sosial masyarakat Sasak yang saya amati dari waktu ke waktu, saya merasa terpanggil untuk meninjau kembali Cupak Gerantang melalui pendekatan kajian budaya. Dalam kerangka ini, pertunjukan tidak lagi saya lihat sebagai entitas estetis yang berdiri sendiri, melainkan sebagai teks sosial yang berkelindan erat dengan pelbagai problematika kemasyarakatan. Pendekatan ini membuka ruang bagi saya untuk menyingkap pelbagai kode rahasia. (dalam tanda petik) yang selama ini tersembunyi di balik narasi dan bentuk pertunjukan. Saya mulai memahami bagaimana cerita dikonstruksi secara sistematis dan bagaimana pertunjukan direproduksi secara berulang untuk menanamkan nilai-nilai tertentu, melampaui persoalan bentuk dan fungsi semata.
Sejarah tidak pernah hadir dalam keadaan netral. Ia dibentuk oleh kuasa, disaring melalui institusi, dan dilestarikan oleh budaya. Dalam konteks masyarakat Sasak, narasi sejarah sering kali ditemukan dalam bentuk-bentuk ekspresi budaya rakyat, termasuk dalam seni pertunjukan tradisional. Di antara warisan tersebut, teater Cupak Gerantang menjadi salah satu medium penting yang bukan sekadar hiburan, tetapi juga wahana produksi dan reproduksi makna sosial. Namun di balik kekayaan estetik dan nilai kulturalnya, teater ini menyimpan jejak ideologis yang dalam. Ia menyuarakan dan sekaligus mengukuhkan relasi kuasa sosial, mewakili bentuk elitisasi sejarah Sasak yang berlangsung halus namun terus-menerus.
Tokoh utama, Cupak dan Gerantang tidak hanya hidup sebagai karakter dramatik. Mereka menjadi simbol dari dua kelas sosial yang terpolarisasi. Cupak, dengan watak yang dikontruski tamak, culas, dan egois, dan buruk rupa kerap dilihat sebagai representasi kelas bawah atau rakyat jelata. Narasi lokal ada yang menyebut ia dibesarkan oleh kalangan rakyat jelata yang bodoh dan miskin. Ia bukan murni berasal dari keluarga bangsawan, atau jika pun memiliki darah kerajaan, maka hanya sebagai anak selir. Sebuah status yang sejak awal sudah termarjinalisasi.
Sebaliknya, Gerantang digambarkan sebagai tokoh cerdas, sopan, tampan, dan bijaksana. Simbol dari bangsawan sejati yang lahir dari rahim kekuasaan yang sah. Pertentangan karakter ini tidak lahir secara alami, melainkan merupakan konstruksi yang dibentuk dan diwariskan melalui medium budaya, dalam hal ini teater tradisional.
Konstruksi semacam ini tidak dapat dilepaskan dari konsep hegemoni Antonio Gramsci, yang menjelaskan bahwa dominasi kelas penguasa tidak semata dilakukan melalui kekuatan koersif, melainkan secara lebih efektif melalui aparatus ideologis yang menciptakan konsensus sosial. Seni pertunjukan, dalam kerangka ini, menjadi salah satu instrumen penting untuk menyisipkan nilai-nilai dan simbol-simbol kuasa ke dalam kesadaran masyarakat secara sukarela. Cupak Gerantang, yang disuguhkan secara turun-temurun di tengah masyarakat Sasak, berperan sebagai ruang produksi hegemoni, di mana ide tentang kepemimpinan, moralitas, dan legitimasi disematkan kepada kaum elit. Sementara itu yang sebaliknya, yakni ketamakan, kekalahan, dan kenistaan dilekatkan pada rakyat.
Kehadiran narasi seperti ini membentuk sebuah nalar kolektif yang mengakar kuat dalam kesadaran sosial masyarakat Sasak. Anak-anak yang menonton pertunjukan ini sejak kecil, remaja yang menyerap cerita hingga orang dewasa yang menghidupkan kembali cerita tersebut dalam bentuk festival budaya, semuanya menyerap nilai-nilai yang telah dikonstruksikan itu. Hal ini menandakan keberhasilan ideologi dalam menanamkan pemahaman historis yang berpihak, yang membentuk apa yang disebut Louis Althusser sebagai subjek ideologis. Masyarakat diajak untuk menginternalisasi posisi sosialnya masing-masing tanpa paksaan, tetapi melalui sistem simbolik dan budaya yang mereka cintai.
Dalam konteks inilah penting untuk memeriksa bagaimana sejarah Sasak secara tidak sadar telah direduksi menjadi narasi elitis. Sejarah yang ditampilkan lewat Cupak Gerantang tidak merepresentasikan kompleksitas sosial masyarakat Sasak secara utuh, tetapi lebih sebagai refleksi dari apa yang diinginkan elit untuk dikenang dan diwariskan. Michel Foucault menyatakan bahwa sejarah bukanlah rekaman masa lalu yang objektif, melainkan medan diskursif yang dipenuhi dengan relasi kuasa. Maka narasi bahwa kemenangan selalu berpihak pada elit dan kekalahan adalah kodrat rakyat, bukan semata-mata kenyataan historis, melainkan efek dari wacana yang dibentuk secara sistematis.
Tentu saja Cupak Gerantang tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari sejarah panjang masyarakat Sasak yang pernah hidup dalam sistem kerajaan, kolonialisme, dan kemudian pemaburan di tengah negara-bangsa modern. Dalam struktur kerajaan, status sosial diwariskan secara turun-temurun, dan keturunan elit mendapat legitimasi otomatis sebagai pemimpin. Maka tidak mengherankan jika dalam bentuk-bentuk budaya, nilai-nilai itu ikut diserap dan diinstitusikan. Namun warisan ini menjadi problematis ketika dibiarkan bekerja secara otomatis dalam kesadaran kolektif kontemporer tanpa pembacaan kritis. Dalam pertunjukan Cupak Gerantang, kita melihat bagaimana keturunan elit selalu diposisikan sebagai yang layak memimpin, yang layak menang, dan yang layak dikenang sebagai pahlawan sejarah.
Hal ini bersesuaian dengan gagasan Pierre Bourdieu mengenai habitus dan kapital simbolik. Habitus adalah struktur mental yang dibentuk oleh pengalaman sosial dan mewujud dalam praktik sehari-hari. Melalui habitus budaya seperti teater, masyarakat belajar untuk menerima dan bahkan mencintai struktur sosial yang tidak adil. Cupak, yang selalu kalah, tidak semata-mata digambarkan sebagai tokoh jahat, tetapi juga sebagai tokoh yang tidak layak mendapatkan simpati. Representasi ini mengarah pada reproduksi struktur sosial yang menempatkan rakyat jelata sebagai pihak yang tidak berkapasitas dalam sejarah. Sementara Gerantang, dengan segala keunggulannya, mewarisi dan memperkuat hegemoni elit.
Lebih jauh, bila kita menarik konsep orientalisme yang diajukan Edward Said ke dalam konteks lokal, kita melihat bahwa Cupak Gerantang menyusun bentuk orientalisme internal, yakni penciptaan oposisi biner dalam masyarakat sendiri. Elit menjadi yang rasional, luhur, dan modern. Sedangkan rakyat menjadi yang emosional, biadab, dan tertinggal. Konsep ini bekerja dalam ranah kultural untuk menyingkirkan suara-suara alternatif yang mungkin muncul dari lapisan sosial bawah. Cupak tidak diberi kesempatan untuk memperlihatkan sisi manusiawinya, tidak diberi ruang untuk menjadi tokoh kompleks yang berkembang. Ia menjadi simbol kekalahan yang diperlukan demi memperkuat legitimasi kemenangan Gerantang.
Dalam konteks seperti ini, sejarah Sasak yang muncul di hadapan kita tidak lain adalah sejarah dari perspektif elit, sejarah yang dibungkus dalam kisah moral yang menghibur tetapi juga mengatur persepsi. Cupak Gerantang sebagai cerita rakyat telah berubah menjadi cerita tentang elit yang disusupi ke dalam bawah sadar masyarakat secara sistematis. Ia tidak lagi mencerminkan kompleksitas dinamika masyarakat, tetapi menyajikan tatanan yang sudah ditentukan sebelumnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, siapa yang punya hak untuk menceritakan sejarah? Siapa yang punya kuasa untuk menentukan tokoh mana yang layak diingat dan tokoh mana yang hanya layak untuk ditertawakan dan dilupakan?
Sebagai refleksi kritis, kita harus menyadari bahwa sejarah yang berpihak semacam ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak utuh. Ketika kita menerima begitu saja narasi seperti dalam Cupak Gerantang, kita membiarkan diri kita dimanipulasi oleh masa lalu yang telah disusun untuk kepentingan tertentu. Dalam masyarakat yang sedang bergerak menuju keterbukaan, demokrasi budaya, dan kesetaraan sosial, cara kita memahami dan menarasikan sejarah juga harus mengalami perubahan. Sejarah tidak boleh lagi menjadi milik tunggal kaum elit atau disampaikan melalui satu suara hegemonik. Ia harus dibuka, dirundingkan, dan ditulis oleh sebanyak mungkin tangan dari sebanyak mungkin sudut pandang.
Melalui tulisan ini, saya tegaskan bahwa saya tidak berupaya untuk menolak Cupak Gerantang sebagai warisan budaya Sasak. Justru sebaliknya, tulisan ini merupakan ajakan untuk mencintai warisan itu dengan cara yang lebih kritis dan reflektif. Dengan memeriksa ulang posisi-posisi simbolik dalam teater tradisional ini, kita bisa mulai mengoreksi ketimpangan naratif yang selama ini terjadi. Kita bisa mulai membayangkan kemungkinan naratif alternatif, di mana Cupak bukan hanya tokoh culas dan jahat, tetapi juga bisa menjadi representasi rakyat yang punya potensi yang layak untuk didengarkan. Bahkan punya kapasitas untuk menjadi pahlawan dan pemimpin.
Dalam situasi sekarang dan masa depan, ketika dunia mencair dalam ideologi global dan masyarakat bergerak melampaui batas-batas kelas yang kaku, sejarah Sasak perlu dirumuskan semula. Kita memerlukan pendekatan baru yang tidak semata-mata mereproduksi narasi elit, tetapi menyertakan sebanyak mungkin suara dari masyarakat Sasak sendiri. Sejarah harus menjadi ruang bersama, bukan milik segelintir orang. Semua orang Sasak berhak atas sejarah. Dan semua orang Sasak berhak untuk terlibat dalam membuat dan menulis sejarah mereka sendiri. Hanya dengan cara inilah sejarah Sasak akan menjadi lebih utuh, kuat, dan berterima dalam ranah global maupun lokal.
Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media
Malaysia, 6 Mei 2025
Penulis : Dr. Salman Faris
Sumber Berita : Opini