LOMBOKINI.com – Program pemerintah untuk mengurangi tenaga honorer melalui program cleansing mendapat tanggapan beragam dari kalangan pendidikan. Edi Subkhan, Pengamat Pendidikan Universitas Negeri Semarang (Unnes), mengkritik tindakan tersebut sebagai tidak berperikemanusiaan.
“Perusahaan yang sifatnya profit saja kalau mau pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah diberitahukan jauh-jauh hari. Jadi karyawan paham dan dapat mempersiapkan mental dan ekonominya. Ini di institusi pendidikan kok malah tidak manusiawi,” tutur Edi, Sabtu (20/7/2024).
Namun, Edi juga mengakui bahwa pengangkatan guru honorer oleh sekolah selama ini relatif problematis. Banyak kasus menunjukkan bahwa proses seleksi tidak proper dan cenderung nepotis karena kedekatan dengan kepala sekolah.
Akibatnya, banyak guru honorer yang tidak memiliki kualifikasi standar, meskipun ada juga yang berkualifikasi tinggi.
“Apa yang dilakukan oleh pemerintah mestinya sesuai skenario awal yakni guru honorer yang di sekolah-sekolah negeri diberi kesempatan jadi PNS dan jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sehingga tetap ada seleksi untuk menjaga mutu guru,” kata Edi.
Edi juga mengusulkan agar pemerintah memberikan batas waktu yang jelas bagi guru honorer untuk mengikuti seleksi PPPK. Jika tidak tertampung, pemerintah dapat membantu menyalurkan mereka ke sekolah lain yang membutuhkan, baik negeri maupun swasta, terutama di daerah yang kekurangan guru termasuk daerah terpencil.
“Tidak mudah memang, karena guru honorer biasanya sudah tinggal di tempat yang terjangkau ke sekolahnya. Jadi agak sulit untuk pindah tempat, apalagi biasanya orang cenderung mencari kemapanan karir dan tempat tinggal,” jelasnya.
Posko Pengaduan Dibuka untuk Guru Honorer yang Terkena Kebijakan Cleansing
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta membuka posko pengaduan selama seminggu mulai Kamis, 18 Juli 2024 sampai Kamis, 25 Juli 2024 untuk mengakomodasi para guru honorer yang terkena kebijakan cleansing. Selama dua hari posko pengaduan dibuka, sudah ada 100 pengadu baru.
“Total aduan yang masuk mencapai 207 dan kemungkinan masih bisa bertambah lagi. Kemarin ada 100 pelapor baru. Kalau di posko lama ada 107 pengaduan ke P2G,” kata Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri.
Dampak Kebijakan Cleansing pada Guru Honorer
Nabila, seorang guru honorer di salah satu sekolah negeri di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, yang menjadi korban kebijakan cleansing akibat masuknya guru PPPK di sekolah tersebut.
Ia, yang telah bekerja lebih dari setahun, merasa kecewa karena tidak diberitahu jauh-jauh hari untuk mencari sekolah baru.
“Tidak ada pemberitahuan. Tepatnya kemarin awal bulan Mei kedatangan guru PPPK yang akan mengajar di kelas saya. Saya diberi waktu sampai kenaikan kelas, yaitu sampai bulan Juni, untuk menyelesaikan tugas,” kata Nabila.
Nabila tidak bisa keluar dari sekolah begitu saja karena terhalang peraturan Dapodik. Akhirnya, ia dipindah tugas menjadi petugas perpustakaan hingga memperoleh sekolah swasta.
“Untuk semester ini saya sementara waktu ditugaskan di perpustakaan karena kabar yang beredar guru honorer tidak bisa dikeluarkan, tetapi saya disuruh mencari sekolah swasta agar Dapodik saya masih bisa ditarik,” ungkapnya. ***
Penulis : Ong
Sumber Berita : nu.or.id