Oleh: Hari Bahagia
Di Montong Gading, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), ruang belajar bukan hanya tempat menampung anak-anak menunggu dering bel. Ia adalah saksi bagaimana atap yang bocor, plafon yang lapuk, dan tembok retak berubah menjadi simbol kerapuhan sistem yang seharusnya menopang masa depan. Sekolah, yang mestinya menjadi rumah harapan, justru menampakkan wajah luka yang menganga.
“Sudah bertahun-tahun kondisinya begini. Kemarin ada yang ambruk lagi, tinggal tunggu roboh semua,” kata Zanwadi, penjaga sekolah yang juga membuka warung kecil di belakang SD-SMP Satu Atap Montong Gading, Rabu, 24 September 2025. Suaranya pelan, seperti ikut patah bersama tembok yang retak.
Sekolah satu atap itu menampung sekitar 180 siswa. Sebagian besar ruang kelas kosong, tak lagi aman ditempati. Anak-anak bergiliran belajar di ruang darurat dengan dinding seadanya, papan tulis yang berdebu, dan meja kursi yang disusun sempit.
Hujan deras dan angin kencang sejak Agustus 2022 membuat bangunan kian rapuh. Saban pagi, anak-anak datang dengan seragam lusuh, menyongsong hari dengan keberanian yang barangkali tak dimiliki orang dewasa: belajar di tengah risiko atap roboh.
Luka yang Bukan Tunggal
Montong Gading hanyalah satu titik di peta panjang persoalan. Di Lombok Timur, kerusakan sekolah bukan kisah tunggal. Data Dinas Pendidikan NTB periode 2022/2023 mencatat 607 ruang kelas rusak berat, 1.040 rusak sedang, dan 1.721 rusak ringan. Selain itu, 135 gedung sekolah mengalami kerusakan parah secara fisik.
Pemerintah kabupaten mencoba merespons. APBD 2025 mengalokasikan Rp 16 miliar untuk merehabilitasi 60 sekolah rusak berat. Namun, masih ada hampir 150 sekolah dengan kondisi kritis. Jurang kebutuhan nyata dan intervensi pemerintah menganga lebar.
Di balik angka-angka itu tersimpan cerita yang lebih getir. Lombok Timur memiliki sekitar 1,46 juta penduduk (2024). Dari jumlah itu, hanya 4,66 persen yang menamatkan pendidikan tinggi. Artinya, 95 persen belum mencapai jenjang D1 ke atas. Lulusan SMA memang mencapai 192.150 orang, tetapi kualitas pendidikan mereka terkendala sarana yang ringkih.
Sekitar 1.080 siswa berkebutuhan khusus juga masuk dalam sistem pendidikan di kabupaten ini. Mereka menuntut perhatian lebih, tetapi justru terjebak dalam infrastruktur yang paling rapuh. Angka-angka ini tak sekadar statistik; ia adalah potret ketimpangan yang nyata.
Retakan yang Menjadi Cermin
Di Montong Gading, retakan tembok adalah retakan harapan. Anak-anak tetap datang ke sekolah, berjalan kaki atau menumpang kendaraan, menembus hujan dan jalan rusak. Mereka belajar bergantian di ruang darurat. Bagi mereka, ruang kelas bukan sekadar bangunan, melainkan jendela menuju masa depan.
Gede Permana, seorang pengunjung yang beberapa kali menyambangi sekolah itu, menyaksikan perubahan lambat yang justru menuju keruntuhan. Apa yang dulu sekadar rusak ringan, kini kian parah. Angin, hujan, kayu lapuk, plafon rapuh—semua bersatu menjadi ancaman senyap.
Kelas yang kosong sejak Agustus 2022 adalah tanda betapa lama masalah dibiarkan. Dinding yang bergetar diterpa angin kini menjadi metafora: sistem pendidikan kita bergoyang, menunggu roboh jika tak segera diperbaiki.
Anggaran dan Prioritas yang Hilang
APBD Lombok Timur 2025 sudah menyiapkan Rp 16 miliar. Namun, bila dibandingkan dengan jumlah sekolah kritis, anggaran itu hanya cukup menambal luka kecil. Ada sekitar 90 sekolah rusak berat lain yang terpaksa menunggu giliran entah sampai kapan.
Masalahnya bukan hanya keterbatasan dana, melainkan arah prioritas. Catatan APBD 2023 menunjukkan, anggaran pendidikan pernah dipotong Rp 110 miliar dari pos sarana prasarana tanpa penjelasan yang memadai. Padahal, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra NTB) menilai ada potensi efisiensi Rp 168,17 miliar dari belanja rutin yang bisa dialihkan ke infrastruktur pendidikan.
Di sinilah retakan yang lebih dalam: bukan pada dinding sekolah, melainkan pada tata kelola. Ketika belanja rutin yang gemuk lebih diutamakan daripada kelas yang hampir roboh, anak-anak kembali menjadi korban.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Kerusakan ruang kelas seharusnya tidak hanya dipandang sebagai perkara teknis bangunan. Ia adalah soal keberpihakan. Ada beberapa langkah yang mendesak:
Pertama, pemetaan prioritas sekolah kritis secara akurat agar alokasi APBD tepat sasaran. Montong Gading dan sekolah lain yang serupa harus masuk daftar utama, bukan sekadar catatan pinggir.
Kedua, menambah alokasi anggaran, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Rehabilitasi sekolah tidak bisa setengah hati: mulai dari atap, plafon, hingga sanitasi yang layak.
Ketiga, transparansi penggunaan dana. Tanpa keterbukaan, rehabilitasi hanya akan jadi proyek formalitas yang tak menyentuh ruang darurat anak-anak.
Keempat, program darurat harus hadir agar tak ada lagi murid yang belajar di bawah ancaman plafon jatuh. Keselamatan tidak boleh menunggu lelang proyek.
Kelima, masyarakat perlu diberi ruang lebih besar sebagai pengawas dan advokat. Orang tua adalah saksi langsung retakan itu. Suara mereka harus terdengar dalam proses perencanaan dan pengawasan.
Lebih dari Statistik
Anak-anak Montong Gading datang ke sekolah bukan karena ruangnya indah, melainkan karena mimpi mereka lebih kuat daripada tembok retak. Mereka tahu kelas mereka berbeda, tetapi tetap memilih hadir.
Dinding yang retak bisa diperbaiki. Kayu lapuk bisa diganti. Atap bocor bisa ditutup. Tetapi jika perhatian pemerintah datang terlambat, yang hilang bukan sekadar bangunan, melainkan generasi yang sempat kehilangan ruang belajar.
Pendidikan adalah hak, bukan hibah belas kasihan. Ruang kelas yang layak bukan soal estetika, melainkan soal keselamatan dan keadilan. Negara hadir atau absen dapat dirasakan dari kokohnya tembok tempat anak-anak belajar.
Montong Gading hanyalah mikro-kosmos. Dari sana, kita belajar bahwa ketertinggalan sering kali bukan karena kurangnya semangat belajar, melainkan karena sistem yang dibiarkan lapuk.
Jika tata kelola anggaran berani bergeser ke prioritas nyata, jika partisipasi warga sungguh didengar, barangkali suara tawa anak-anak di ruang darurat itu akan bergema lebih lantang tanpa lagi bercampur bunyi plafon yang nyaris roboh.***
Penulis adalah Etnografer di kolektif Nusa Artivisme.
Penulis : Hari Bahagia







