Oleh: Salman Faris
Ketika mata saya menangkap sekilas bangunan baru kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat, kesan pertama yang muncul secara spontan dan kuat adalah Bali. Kesan ini merupakan impresi awal yang terbentuk melalui pengalaman visual yang telah saya miliki sebelumnya tentang bangsa Sasak. Sebuah respons langsung terhadap bentuk dan rupa yang saya lihat melalui luar pagar karena saya belum pernah masuk ke dalam. Dan inilah soal utama tulisan ini, yakni tentang kesan pertama. Sebab kesan pertama sangat menentukan dalam visual. Kesan pertamalah yang menentukan posisi politik dan simbolik sutau objek.
Meskipun mungkin tersedia narasi dan penjelasan mengenai simbol lokal yang disisipkan, impresi pertama tersebut tetap dominan dan tidak tergoyahkan. Dalam kerangka itu, saya menyadari bahwa renovasi kantor senilai 40 miliar rupiah tersebut justru menghadirkan harga yang sangat murah untuk menenggelamkan simbol kebudayaan Sasak yang selama ini membanggakan diri sebagai bangsa tertua dan paling beradab di kawasan timur Nusantara. Ironisnya, bangunan yang diklaim modern dan mewakili kemajuan ini justru tampak sebagai legasi sang datu Sasak yang kehilangan arah sejarah dan simbol kulturalnya.
Teori impresi dalam seni menandai suatu revolusi estetika yang lahir dari kegelisahan terhadap rigiditas seni akademik abad ke-19. Ia muncul bukan sebagai penolakan mutlak terhadap tradisi, melainkan sebagai pergeseran cara pandang terhadap realitas visual dan pengalaman manusia. Impresionisme, sebagai gerakan seni yang menjelma dari teori impresi ini, tidak mengutamakan representasi objektif, melainkan berusaha menangkap kesan sesaat (momentary impression) dari dunia yang terus bergerak. Cahaya, suasana, warna, dan waktu menjadi elemen penting dalam menstrukturkan karya seni yang tidak lagi dibebani oleh narasi besar, melainkan oleh persepsi inderawi sang seniman.
Secara simbolik, ornamen khas pura, hiasan jejeran pilar, simetri bentuk yang mengingatkan pada arsitektur kerajaan Hindu-Bali. Dalam satu tarikan napas, kantor pemerintahan tertinggi di tanah Sasak ini telah menjadi Bali secara visual. Dan dalam hal ini, sekali lagi impresi pertama adalah segalanya. Bangunan yang semestinya menjadi simbol identitas politik dan kultural masyarakat Sasak kini justru mencerminkan yang lain. Identitas kultural luar yang berkuasa atas kesadaran visual. Kantor Gubernur NTB telah menjadi sebuah situs kekuasaan impresi Bali.
Fenomena ini tidak bisa dianggap sebagai sekadar pilihan estetika atau strategi desain. Ia adalah ekspresi dari proses ahistoris dan apolitis dalam membangun simbol publik. Dalam kerangka teori impresi, seperti dijelaskan oleh Maurice Merleau-Ponty dalam bukunya yang berjudul Phenomenology of Perception (1945), persepsi manusia terhadap dunia bukanlah proses pasif, tetapi aktif dan situasional. Kita tidak sekadar melihat bentuk, melainkan mengalami dan mengendapkannya sebagai kesan visual yang membekas. Maka, ketika wajah kantor Gubernur NTB dibentuk sedemikian rupa yang mengesankan Bali lebih dari Sasak, impresi tersebut bukanlah efek samping estetika, melainkan hasil dari desain yang membentuk makna secara politis dan simbolik.
Meski ada ornamen lokal seperti lumbung, elemen tersebut tenggelam dalam dominasi visual Bali yang lebih mencolok. Secara impresionistik, lumbung hanyalah tempelan simbolik yang tidak memberi bobot pada pengalaman visual pertama. Dalam dunia yang diliputi visualitas cepat dan masif, sebagaimana dijelaskan John Rewald dalam bukunya yang berjudul The History of Impressionism (1946), impresi sesaat yang muncul pertama kali cenderung membentuk persepsi publik yang lebih kuat ketimbang makna yang dijelaskan kemudian. Dengan begitu, jika impresi pertama terhadap bangunan kantor Gubernur NTB adalah Bali, maka kesan itu menjadi realitas yang hidup di benak warga. Realitas yang menggambarkan dominasi simbolik Bali telah mengakar kuat pada sang kepala proyek renovasi yang mereka panggil sebagai datu. Jika sang datu terhegemoni begitu mendalam, apatah lagi rakyat biasa yang selalu menganggap datu sebagai acuan utama sejarah dan kultural mereka.
Dalam buku yang berjudul The Meaning of Art (1931), Herbert Read menyebut seni sebagai representasi nilai-nilai sosial dan spiritual masyarakat. Arsitektur, sebagai cabang seni yang menyatu dengan ruang publik, seharusnya menjadi wadah bagi ekspresi kultural yang kontekstual. Ketika kantor Gubernur NTB tidak mencerminkan arsitektur Sasak secara dominan, tetapi justru meniru simbol arsitektur Bali, maka yang dikhianati bukan hanya prinsip estetika, tetapi juga memori kolektif, identitas, dan legitimasi budaya Sasak. Ini adalah bentuk pengabaian sejarah visual Sasak, sekaligus penguatan hegemoni kultural yang tidada habisnya.
Begitu juga Robert L. Herbert dalam Impressionism: Art, Leisure, and Parisian Society (1988) menelusuri bagaimana para impresionis menangkap perubahan ruang kota dan budaya visual modern sebagai kesan sesaat yang membentuk persepsi baru terhadap realitas. Hal yang sama kini terjadi di Lombok, kantor Gubernur NTB sebagai ruang visual dominan, setiap hari dilihat dan dilalui ribuan orang, menjadi alat produksi impresi massal. Setiap impresi bahwa ini Bali berarti sebuah proses pelupaan kolektif terhadap estetika Sasak. Ruang simbolik kekuasaan berubah menjadi showroom impresi budaya luar.
Impresi merupakan respons langsung terhadap visualitas yang hadir dalam waktu. Maka, ketika ruang publik terpenting seperti kantor Gubernur NTB dibentuk tanpa kesadaran historis terhadap persepsi masyarakat Sasak, maka ruang itu menjadi alat penghancuran kultural secara estetis. Ini bukan hanya soal bentuk bangunan, tetapi soal kekuasaan impresi di mana kekuasaan itu dikontruski secara simbolik untuk membentuk persepsi, mengganti makna, dan menghapus sejarah.
Apa yang terjadi di sini adalah pengkhianatan simbolik. Kantor Gubernur NTB adalah representasi negara di daerah, simbol otoritas politik dan marwah kultural. Ketika simbol ini lebih mencerminkan kebudayaan luar ketimbang kebudayaan lokal, maka yang dikhianati bukan hanya estetika, tetapi juga sejarah, identitas, dan kedaulatan simbolik masyarakat Sasak. Ironisnya, ini dilakukan secara sadar oleh aktor proyek renovasi yang barangkali lebih terpikat oleh estetika eksotik Bali ketimbang kompleksitas arsitektur lokal yang sesungguhnya memiliki kekayaan bentuk dan filosofi tersendiri.
Lebih malang lagi, mereka yang selama ini mengaku sebagai tokoh, pemuka, atau panutan dalam masyarakat Sasak. Tokoh yang membanggakan diri sebagai penjaga warisan budaya, penjuru nilai-nilai leluhur, dan benteng terakhir identitas Sasak, justru memilih bungkam. Tidak satu pun dari mereka melontarkan kritik yang tegas terhadap kekuasaan simbolik yang sedang bekerja dalam bentuk bangunan itu. Padahal, kantor Gubernur NTB bukan sekadar kantor administrasi, melainkan ruang simbolik tertinggi bagi representasi identitas publik. Namun para tokoh itu, yang sering menyebut diri paling Sasak, paling kanggo atas Sasak, nyatanya hanya berdiri jauh, memerhati, diam seribu bahasa. Mereka seperti telah berdamai dengan kenyataan baru yang ahistoris. Seolah-olah penyingkiran kultural melalui estetika adalah hal wajar dalam pembangunan.
Sikap diam ini adalah cermin kekosongan kesadaran simbolik yang sangat mengkhawatirkan. Ketika ruang publik utama di NTB diisi dengan impresi budaya luar. Ketika estetika Bali menjadi visual dominan pada jantung pemerintahan Sasak. Dan ketika itu semua berlangsung tanpa kritik dari mereka yang mestinya menjadi penjaga identitas, maka yang terjadi bukan hanya kekalahan estetika, melainkan pengkhianatan ideologis. Ini adalah bentuk keterjajahan simbolik yang tidak kasatmata namun begitu dalam pengaruhnya. Ironi ini menohok, rasa cinta dan kebanggaan terhadap bangsa sendiri tidak cukup kuat untuk membunyikan kritik terhadap simbolisasi yang meminggirkan. Para tokoh itu justru tampak hanyut dalam euforia pembangunan fisik tanpa sadar bahwa ruh kebudayaan mereka sedang dicabut dari fondasi visual ruang publik mereka sendiri.
Karena itu, kantor Gubernur NTB secara perlahan bukan lagi lambang kultural masyarakat Sasak. Ia telah menjadi ikon dari estetika ahistoris dan dominasi simbolik yang lebih peduli pada kesan indah atau modern ketimbang kesetiaan pada akar budaya Sasak. Dalam logika kekuasaan impresi, yang terpenting bukan makna sebenarnya, tetapi apa yang langsung terlihat dan terasa.
Sekali lagi, sungguh harga yang sangat murah bagi sebuah legasi sang datu Sasak untuk semakin meniadakan bangsanya sendiri.
Tetapi, siapa tahu dia malah bangga atas legasi yang melukai ini.***
Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media
Malaysia, 2 Mei 2025.
Penulis : Salman Faris