Oleh: Salman Faris
Tulisan ini berdasarkan disertasi John M. MacDougall yang berjudul Buddhist Buda or Buda Buddhists?: Conversion, Religious Modernism and Conflict in the minority Buda Sasak communities of New Order and Post-Suharto Lombok, terutama bab pertama “Blurred Identities: Localizing Lombok to Indonesia”, yang dikeluarkan oleh jurusan antropologi Princeton University.
Sebagai antropolog yang menikah dengan perempuan Bali, MacDougall dapat dikatakan berhasil menyajikan kajian cukup mendalam tentang bagaimana penjajahan, baik oleh kekuasaan Bali maupun kolonialisme Belanda, menciptakan kesengsaraan struktural dan kultural yang kompleks bagi masyarakat Sasak di Lombok. Melalui pendekatan etnografi historis dan analisis antropologis yang tajam, MacDougall tidak sekadar mendokumentasikan pengalaman penjajahan, tetapi juga melacak bagaimana identitas dan sistem nilai Sasak terbentuk, dideformasi, dan dipertarungkan dalam arena kuasa yang saling bersilang.
Masyarakat Sasak tidak sekadar mengalami penjajahan dalam bentuk dominasi militer atau politik (kekerasan, kesengsaraan, penderitaan fisik), tetapi juga dalam ranah simbolik dan epistemik(kekerasan, kesengsaraan, penderitaan psikis dan pikiran bawah sadar). MacDougall menunjukkan bahwa kekuasaan Bali, yang mulai menguasai Lombok sejak abad ke-18 melalui tiga dinasti bangsawan Karangasem, menciptakan sistem pemerintahan yang menggabungkan kekerasan struktural dengan pengendalian simbolik melalui ritual dan ekonomi moral Sasak.
Tiga dinasti yang dimaksud merujuk kepada tiga dinasti bangsawan Bali dari wilayah Karangasem, Bali Timur, yang menguasai Lombok sejak kejatuhan Kerajaan Selaparang pada tahun 1740-an. Ketiga-tiga dinasti tersebut ada Puri Cakranegara yang terletak di wilayah barat Lombok (kini Kota Cakranegara, Mataram), ini adalah pusat kekuasaan utama kolonial Bali di Lombok. Puri ini memainkan peranan sentral sebagai wakil kerajaan Karangasem di Lombok dan menjadi pusat kontrol (panopticon) kolonial Bali di pulau tersebut.
Kedua adalah Puri Mataram yang seringkali dirujuk sebagai bagian dari pusat kekuasaan Bali di Lombok, puri ini memiliki kaitan langsung dengan Puri Cakranegara dan bertindak sebagai penguat kuasa wilayah barat Lombok, termasuk dalam urusan pengumpulan pajak dan mobilisasi tenaga kerja. Kemudian yang ketiga iala Puri Pagutan yaitu kelompok bangsawan Bali yang menguasai kawasan yang lebih ke selatan dan barat daya Lombok. Peranan mereka lebih subordinat namun tetap penting dalam mempertahankan jaringan kekuasaan kolonial Bali, khususnya dalam urusan perdagangan dan militer.
Ketiga-tiganya merupakan cabang dari wangsa Karangasem yang datang dari Bali Timur pasca-ekspansi kerajaan Gelgel. Mereka menundukkan kerajaan Sasak dan menjadikan Lombok sebagai wilayah koloni berbasis feodalisme Hindu-Bali, lengkap dengan sistem upeti dan eksploitasi ritual. Jadi, kata Bali dalam tulisan ini perlu dibaca dan dimaknai sebagai Karangasem.
Kekuasaan Bali mempertahankan hegemoni mereka dengan menggunakan struktur upeti berbasis ritual, di mana persembahan kepada leluhur dan dewa-dewa gunung seperti Dewi Anjani digunakan untuk melegitimasi sistem tribut yang pada dasarnya menindas dengan sangat kejam. Dalam analisis MacDougall, ritual tidak hanya menjadi bentuk pengabdian spiritual, tetapi juga menjadi medium kekuasaan kolonial Bali untuk menundukkan masyarakat Sasak dan menyamarkan eksploitasi sebagai kewajiban religius. Satu penindasan simbolik terhadap orang Sasak yang tersistematisasi dalam kurung waktu ratusan tahun.
Bab pertama dari disertasi ini menggarisbawahi bahwa penjajahan Bali terhadap Sasak bukan semata-mata bentuk dominasi budaya Hindu-Buddha terhadap Islam Sasak, tetapi lebih dalam dari itu: sebuah proyek hegemoni di mana simbol-simbol lokal dan kepercayaan spiritual digunakan untuk melanggengkan sistem kekuasaan feodal. Pemerintahan Bali menerapkan sistem pengumpulan pajak yang dikendalikan oleh bangsawan dan kepala desa, namun dikemas dalam narasi ritual yang disahkan oleh mimpi raja dan perintah gaib dari Dewi Gunung. Salah satu contoh yang dicatat oleh MacDougall adalah sensus rahasia yang dikisahkan oleh Alfred R. Wallace, yang didasarkan pada perintah spiritual dari Gunung Rinjani, menunjukkan bahwa kekuasaan Bali sangat cermat dalam mengolah legitimasi politik melalui mitologi lokal.
Seperti yang disinggung di atas, untuk menguatkan temuan kajian, MacDougall merujuk secara cermat buku The Malay Archipelago: The Land of the Orang-utan and the Bird of Paradise; A Narrative of Travel, with Studies of Man and Nature yang ditulis oleh Alfred R. Wallace. Buku yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1869 ini merupakan salah satu karya klasik dalam bidang sejarah alam, geografi, dan etnografi Asia Tenggara, berdasarkan perjalanan Wallace di Kepulauan Melayu (termasuk Indonesia) antara tahun 1854 hingga 1862. Dalam konteks Lombok, Wallace mencatat secara etnografis praktik-praktik politik dan kebudayaan lokal, termasuk kisah sensus mitologis yang dilakukan oleh raja Bali di Lombok yang dikutip oleh MacDougall sebagai contoh “statistical governmentality” yang diperkuat secara ritual. Satu simulakra pembinasaan orang Sasak yang berdampak secara bawah sadar sehingga sekarang dan tidak ada tanda-tanda pengakhiran, entah sampai kapan.
Namun, MacDougall juga menunjukkan bahwa kekuasaan Belanda yang menggantikan dominasi Bali pada akhir abad ke-19 tidak membawa pembebasan bagi Sasak, melainkan bentuk penjajahan baru yang lebih sistematis. Belanda datang atas undangan kelompok tarekat Islam Sasak di Lombok Timur yang memberontak terhadap kekuasaan Bali, namun segera menggantikan struktur kolonial sebelumnya dengan bentuk dominasi yang lebih birokratis dan terstandarisasi. Belanda membangun sistem pemerintahan tidak langsung melalui bangsawan boneka Sasak yang dilabeli sebagai keturunan kerajaan Selaparang, sebuah kerajaan masa lalu yang dipanggil kembali dari khazanah memori budaya untuk melayani kepentingan kolonial. Ironisnya, genealogis kekuasaan ini bukan didasarkan pada realitas politik kontemporer, melainkan pada narasi keemasan yang disusun dan dimanfaatkan oleh Belanda untuk meredam potensi perlawanan dan mengorganisasi sistem perpajakan.
Dalam konteks ini, MacDougall dengan jeli mengungkap bagaimana kolonialisme menciptakan bentuk penderitaan dan kesengsaraan yang lebih subtil namun dalam. Penderitaan dan kesengsaraan akibat penghapusan makna dan perampasan identitas orang Sasak yang berdampak besar sampai sekarang pada diri orang Sasak yang tak berhasil membangun identitas jelas dan kuat sebagai bangsa. Dalam upaya Belanda untuk menginstitusionalisasi struktur adat dan hukum tradisional sebagai alat kontrol sosial, terjadi apa yang oleh MacDougall disebut sebagai “kebingungan budaya”. Sasak tidak hanya dikepung oleh wacana kolonial yang ingin menetralkan Islam melalui revitalisasi adat, tetapi juga oleh warisan kolonial Bali yang membaurkan praktik ritual Hindu-Buddha ke dalam bentuk-bentuk religiusitas Islam lokal. Di sinilah letak penderitaan dan kesengsaraan mendalam masyarakat Sasak yakni ketika identitas religius, genealogis, dan kulturalnya dikaburkan, dihilangkan, dibumihanguskan, dimusnahkan secara massal untuk kepentingan kekuasaan eksternal.
MacDougall mencatat bahwa pada masa awal kolonial Belanda, meskipun gerakan tarekat seperti Naqshabandiyyah menjadi kekuatan utama dalam menggulingkan kekuasaan Bali, struktur kolonial baru yang diterapkan Belanda gagal memberikan ruang otonomi yang sejati kepada komunitas Islam Sasak. Alih-alih membangun struktur pemerintahan berdasarkan representasi lokal yang sejati, Belanda memilih untuk membentuk bangsawan baru berdasarkan kedekatan spasial dengan pusat kekuasaan masa lalu (seperti Sakra di Lombok Timur), bukan berdasarkan legitimasi moral atau popularitas lokal. Hal ini berujung pada munculnya birokrasi feodal baru yang tidak hanya memelihara ketimpangan sosial, tetapi juga menciptakan kesenjangan spiritual antara rakyat dan penguasa. Antara bangsawan boneka dengan rakyat jelata Sasak yang terus-menerus dalam penderitaan dan kesengsaraan.
Penderitaan dan kesengsaraan Sasak selama periode kolonial (Bali dan Belanda) tidak hanya bersifat politis atau ekonomis, melainkan juga menyentuh aspek-aspek mendalam dalam keseharian yaitu kesehatan, kematian, bencana alam, dan kesulitan hidup yang dimaknai dalam kerangka ekonomi moral ritual. Dalam kerangka ini, tidak membayar pajak atau gagal memberikan persembahan dianggap sebagai pelanggaran spiritual yang akan membawa bencana, sebuah keyakinan yang dieksploitasi oleh penguasa baik Bali maupun Belanda untuk menjaga kepatuhan. Sekali lagi, bagi saya, MacDougall berhasil dengan cemerlang menunjukkan bahwa kekuasaan kolonial bekerja melalui alam simbolik dan memori budaya, dan bukan sekadar melalui kekerasan fisik.
Ironisnya, strategi Belanda untuk meniru sistem kekuasaan Bali dengan membentuk bangsawan Sasak boneka berbasis mitologi Selaparang justru menjadi bumerang. Rakyat Sasak mulai menggunakan narasi yang sama, legitimasi zaman keemasan Selaparang untuk menolak kekuasaan Belanda. Dalam perlawanan mesianik yang muncul pada awal abad ke-20, para pemimpin spiritual dan karismatik mengklaim bahwa mereka adalah titisan atau pewaris Selaparang yang sejati. Gerakan ini, yang disebut oleh MacDougall sebagai kedatu-datuan, tidak selalu berwatak Islamis, tetapi lebih merupakan resistensi kultural yang menggunakan simbol-simbol masa lalu untuk menolak dominasi masa kini.
Dengan demikian, bab pertama disertasi MacDougall tidak hanya menawarkan narasi sejarah, melainkan menyusun sebuah genealogi keterjajahan dan kesengsaraan yang terstruktur dan sistemik. Dari kekuasaan Bali yang menindas, membinasakan, membumihanguskan orang Sasak dengan balutan legitimasi ritual, hingga kolonialisme Belanda yang menciptakan birokrasi boneka berbasis genealogis fiktif, masyarakat Sasak menjalani sejarah panjang penindasan yang membentuk identitas mereka hingga hari ini sebagai bangsa inlander. Sebagai bangsa super inferior. Penderitaan yang mereka alami tidak hanya berbentuk ketertindasan sosial atau ekonomi, tetapi juga berupa dislokasi makna, hilangnya identitas, dan manipulasi terhadap sistem kepercayaan yang paling dalam.
MacDougall menyajikan analisis yang memperlihatkan bahwa kolonialisme di Lombok tidak bisa dipahami sebagai benturan antara Barat dan Timur semata, tetapi sebagai medan pertempuran simbolik antara berbagai warisan sejarah, kekuasaan lokal, dan aspirasi religius yang saling bertabrakan. Sasak, sebagai entitas kultural, berada di tengah pusaran ini, terjajah oleh Bali, dikendalikan oleh Belanda, dan terombang-ambing dalam upaya merebut kembali identitasnya sendiri. Genealogi keterjajahan dan kesengsaraan Sasak, sebagaimana ditelusuri dalam disertasi ini, bukanlah kisah pasif korban kolonialisme, tetapi sejarah pergulatan yang dinamis dan penuh kontradiksi, di mana kekuasaan selalu datang dengan wajah lokal (bangsawan-bangsawan Sasak boneka), dan penderitaan selalu dibungkus dalam bahasa tradisi.
Disertasi MacDougall tidak hanya membuka tabir sejarah yang tersembunyi, tetapi juga memaksa kita untuk mempertanyakan ulang tentang makna tradisi, otoritas, dan identitas dalam masyarakat pascakolonial. Melalui penelusuran terhadap bab pertama ini, kita belajar bahwa keterjajahan bukan hanya tentang siapa yang menjajah, tetapi bagaimana penjajahan itu bekerja melalui tubuh, melalui bahasa, melalui ritual, dan melalui mimpi-mimpi yang dijadikan alat untuk mengukuhkan kekuasaan atas mereka yang dijajah.
Namun sayang, orang Sasak, dari yang paling buta huruf sampai yang paling terpelajar pun, tidak menyadari keterjajahan mereka. Bahkan sangat bangga ketika mereka berhasil menjadi serupa Bali, hampir dalam segala hal.
Malaysia, Syawal 2025.
Penulis adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media
Penulis : Salman Faris