Tradisi Begibung, MBG dan Pelajaran yang Hilang di Meja Kekuasaan

Kamis, 9 Oktober 2025 - 17:19 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tradisi Begibung, MBG dan Pelajaran yang Hilang di Meja Kekuasaan. (Foto: Lombokini.com).

Tradisi Begibung, MBG dan Pelajaran yang Hilang di Meja Kekuasaan. (Foto: Lombokini.com).

Oleh: Harry Bahagia 

Di kampung, dulang begibung adalah universitas rakyat. Satu wadah nasi dan lauk jadi ruang belajar tentang kesetaraan antara yang kaya maupun yang miskin, pejabat atau rakyat jelata, sama-sama jongkok atau duduk bersila di atas tikar yang sama.

Kalau lauk tinggal sepotong ayam, atau potongan daging sapi itu dibagi hingga tulang terakhir. Demokrasi rasa sayur ares dan pelecing kangkung, tanpa notulen rapat dan tanpa laporan kinerja.

Filosofi begibung sederhana tapi nilainya yang dalam, yakni kenyang memberi tenaga, kebersamaan memberi kewarasan. Sayangnya, pelajaran itu sering tak sampai ke meja kekuasaan.

Di ruang rapat pejabat, yang berbagi bukan dulang berisi nasi, melainkan proyek berisi angka. Semua ingin sendok lebih panjang, tak peduli siapa yang kelaparan di ujung meja.

Antara Dulang dan Data Statistik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) seolah jadi jawaban modern atas soal gizi anak bangsa. Semua serba terukur: kalori dihitung, porsi distandardisasi, wadah rapi seakan urusan makan siang bisa diselesaikan lewat excel.

Namun, realitas tak semulus presentasi PowerPoint. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat lebih dari 6.452 kasus keracunan anak hingga 21 September 2025.

Naik seribu lebih hanya dalam sembilan hari. Angka itu bukan statistik dingin, tapi muntah berjamaah, perut melilit, bahkan trauma makan siang.

Baca Juga :  Homo Lombokensis: Arah Baru Lombok

Tapi jangan khawatir, pejabat selalu punya cara menenangkan. Satgas MBG NTB, misalnya, menepis kekhawatiran dengan daftar capaian: 862 ribu penerima manfaat, 269 dapur beroperasi, seribu mitra terlibat, dan 11 ribu tenaga kerja terserap.

Membaca klaim itu, rasanya seperti brosur investasi kuliner, bukan kabar soal anak-anak yang seharusnya makan dengan aman.

Ironisnya, semakin besar angka capaian, semakin jauh rasanya dari kenyataan di lapangan. Sama seperti rapat anggaran DPR: semakin panjang paparan, semakin tak jelas siapa yang kenyang, siapa yang lapar.

Bandingkan dengan begibung. Di hadapan dulang, mustahil ada yang bisa curi-curi lauk untuk diri sendiri. Tangan bersentuhan, mata saling menatap. Transparansi bukan lewat laporan audit, tapi lewat sendok yang sama.

Dari Filosofi Begibung ke Solusi MBG

Begibung mengajarkan bahwa makanan bukan sekadar isi perut, tapi juga isi hati. Semua orang terlibat: ibu-ibu menyiapkan bumbu, bapak-bapak menyiapkan kayu bakar, anak-anak berlari jadi penggembira.

Tidak ada tender dapur, tidak ada kontraktor pangan, apalagi markup nota belanja. Yang ada hanya tanggung jawab sosial: memberi makan demi kebersamaan.

Mungkin di sinilah letak kesalahan MBG: ia kehilangan rasa gotong royong, tersisa proyek pengadaan. Anak-anak jadi sasaran uji coba piring plastik.

Baca Juga :  Dapur MBG Lombok Timur Serap Tenaga Kerja dan Dongkrak Ekonomi Lokal

Solusinya bukan menghentikan makan siang gratis, tapi mengembalikan semangat begibung ke dalam MBG. Caranya? Libatkan pihak yang benar-benar dekat dengan anak-anak: sekolah, guru, komite sekolah, koperasi orang tua murid.

Biarkan mereka yang mengelola dapur, mengawasi mutu, memilih bahan pangan dari petani sekitar.

Bayangkan bila setiap sekolah punya dapur sederhana, dikelola dengan transparansi ala kampung. Pemasok sayur dari tani lokal, ikan dari nelayan sekitar, beras dari gabah tetangga. Anak-anak makan, petani tersenyum, orang tua merasa tenang. Itulah begibung dalam versi abad ke-21.

Kalau pemerintah tetap ngotot menjadikan MBG sekadar proyek besar dengan aroma birokrasi, jangan heran bila makan siang berubah jadi mimpi buruk. Anak-anak muntah berjamaah, orang tua resah, pejabat sibuk konferensi pers sambil menepuk dada.

Tradisi begibung memberi pelajaran jelas: kenyang itu penting, tapi kewarasan jauh lebih berharga. Filosofi ini yang seharusnya diangkut ke meja kekuasaan.

Bila tidak, generasi mendatang hanya akan mengenal begibung sebagai nama restoran all you can eat di mal, lengkap dengan promo buy one get one, tapi tanpa tawa, tanpa rasa, tanpa kebersamaan.***

Penulis adalah Etnografer di kolektif Nusa Artivisme

Penulis : Harry Bahagia

Berita Terkait

Penyerapan APBN s.d. Semester I Kabupaten Lombok Timur dari Tahun ke Tahun
Homo Lombokensis: Arah Baru Lombok
Irnadi Itulah Solusi
Tantangan Implementasi AI dan Coding pada Pendidikan Dasar: Jangan Terburu-buru Mengikis Fondasi Pendidikan
Kapitalisasi Demokrasi dan Robohnya Meritokrasi
Tantangan Utama Gubernur Iqbal dari Bangsa Sasak Sendiri
Masnun Tahir: Antara UIN Mataram dan NU NTB
Hultah NWDI: Pencerahan, Peradaban, Kebangsaan

Berita Terkait

Minggu, 5 Oktober 2025 - 17:13 WITA

Tiga Pembalap MotoGP Mandalika Dievakuasi Via Udara

Sabtu, 4 Oktober 2025 - 10:18 WITA

Hadiah Umrah Jalan Sehat Meriahkan Hultah ke-90 Madrasah NWDI

Rabu, 1 Oktober 2025 - 00:44 WITA

Pasukan Gegana Kawal Logistik MotoGP dari Bandara ke Sirkuit Mandalika

Rabu, 1 Oktober 2025 - 00:23 WITA

Presiden Prabowo Sambut Juara Dunia MotoGP Marc Márquez di Istana Negara

Kamis, 11 September 2025 - 21:21 WITA

Kepala BKN Luncurkan Mandalika KORPRI Fun Night Run 2025

Rabu, 10 September 2025 - 17:33 WITA

Mandalika Korpri Fun Night Run 2025 Targetkan 6.000 Pelari Dongkrak Ekonomi NTB

Kamis, 28 Agustus 2025 - 11:03 WITA

Dispora Gelar Napak Tilas ‘Lotim Smart’ dengan Sistem Barcode, Ratusan Peserta Antusias

Minggu, 24 Agustus 2025 - 08:55 WITA

Perslotim U-17 Juara Piala Soeratin NTB 2025, Lolos ke Nasional

Berita Terbaru