Oleh: Harry Bahagia
Di kampung, dulang begibung adalah universitas rakyat. Satu wadah nasi dan lauk jadi ruang belajar tentang kesetaraan antara yang kaya maupun yang miskin, pejabat atau rakyat jelata, sama-sama jongkok atau duduk bersila di atas tikar yang sama.
Kalau lauk tinggal sepotong ayam, atau potongan daging sapi itu dibagi hingga tulang terakhir. Demokrasi rasa sayur ares dan pelecing kangkung, tanpa notulen rapat dan tanpa laporan kinerja.
Filosofi begibung sederhana tapi nilainya yang dalam, yakni kenyang memberi tenaga, kebersamaan memberi kewarasan. Sayangnya, pelajaran itu sering tak sampai ke meja kekuasaan.
Di ruang rapat pejabat, yang berbagi bukan dulang berisi nasi, melainkan proyek berisi angka. Semua ingin sendok lebih panjang, tak peduli siapa yang kelaparan di ujung meja.
Antara Dulang dan Data Statistik
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) seolah jadi jawaban modern atas soal gizi anak bangsa. Semua serba terukur: kalori dihitung, porsi distandardisasi, wadah rapi seakan urusan makan siang bisa diselesaikan lewat excel.
Namun, realitas tak semulus presentasi PowerPoint. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat lebih dari 6.452 kasus keracunan anak hingga 21 September 2025.
Naik seribu lebih hanya dalam sembilan hari. Angka itu bukan statistik dingin, tapi muntah berjamaah, perut melilit, bahkan trauma makan siang.
Tapi jangan khawatir, pejabat selalu punya cara menenangkan. Satgas MBG NTB, misalnya, menepis kekhawatiran dengan daftar capaian: 862 ribu penerima manfaat, 269 dapur beroperasi, seribu mitra terlibat, dan 11 ribu tenaga kerja terserap.
Membaca klaim itu, rasanya seperti brosur investasi kuliner, bukan kabar soal anak-anak yang seharusnya makan dengan aman.
Ironisnya, semakin besar angka capaian, semakin jauh rasanya dari kenyataan di lapangan. Sama seperti rapat anggaran DPR: semakin panjang paparan, semakin tak jelas siapa yang kenyang, siapa yang lapar.
Bandingkan dengan begibung. Di hadapan dulang, mustahil ada yang bisa curi-curi lauk untuk diri sendiri. Tangan bersentuhan, mata saling menatap. Transparansi bukan lewat laporan audit, tapi lewat sendok yang sama.
Dari Filosofi Begibung ke Solusi MBG
Begibung mengajarkan bahwa makanan bukan sekadar isi perut, tapi juga isi hati. Semua orang terlibat: ibu-ibu menyiapkan bumbu, bapak-bapak menyiapkan kayu bakar, anak-anak berlari jadi penggembira.
Tidak ada tender dapur, tidak ada kontraktor pangan, apalagi markup nota belanja. Yang ada hanya tanggung jawab sosial: memberi makan demi kebersamaan.
Mungkin di sinilah letak kesalahan MBG: ia kehilangan rasa gotong royong, tersisa proyek pengadaan. Anak-anak jadi sasaran uji coba piring plastik.
Solusinya bukan menghentikan makan siang gratis, tapi mengembalikan semangat begibung ke dalam MBG. Caranya? Libatkan pihak yang benar-benar dekat dengan anak-anak: sekolah, guru, komite sekolah, koperasi orang tua murid.
Biarkan mereka yang mengelola dapur, mengawasi mutu, memilih bahan pangan dari petani sekitar.
Bayangkan bila setiap sekolah punya dapur sederhana, dikelola dengan transparansi ala kampung. Pemasok sayur dari tani lokal, ikan dari nelayan sekitar, beras dari gabah tetangga. Anak-anak makan, petani tersenyum, orang tua merasa tenang. Itulah begibung dalam versi abad ke-21.
Kalau pemerintah tetap ngotot menjadikan MBG sekadar proyek besar dengan aroma birokrasi, jangan heran bila makan siang berubah jadi mimpi buruk. Anak-anak muntah berjamaah, orang tua resah, pejabat sibuk konferensi pers sambil menepuk dada.
Tradisi begibung memberi pelajaran jelas: kenyang itu penting, tapi kewarasan jauh lebih berharga. Filosofi ini yang seharusnya diangkut ke meja kekuasaan.
Bila tidak, generasi mendatang hanya akan mengenal begibung sebagai nama restoran all you can eat di mal, lengkap dengan promo buy one get one, tapi tanpa tawa, tanpa rasa, tanpa kebersamaan.***
Penulis adalah Etnografer di kolektif Nusa Artivisme
Penulis : Harry Bahagia