LOMBOKINI.com – PT Eco Solution Lombok (ESL) menanggapi tuduhan Kepala Desa Sekaroh, Mansyur, terkait dugaan keterlibatan “kongkalikong” antara PT ESL dan Dinas Kehutanan Provinsi NTB mengenai larangan pengunjung di area barat Pantai Pink, Sekaroh, Kecamatan Jerowaru.
Sebelumnya, melalui berbagai platform media online, Mansyur mempertanyakan batas wilayah izin PT ESL, mengingat adanya larangan bagi wisatawan untuk memasuki area barat Pantai Pink. Bahkan Kades menuduh adanya kongkalikong dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB.
Koordinator Program PT ESL, Putrawan Habibi, menegaskan bahwa pembatasan tersebut hanya berlaku untuk kendaraan, bukan pengunjung.
Pembatasan itu didasarkan pada Peraturan Presiden No. 51/2016 tentang Batas Wilayah Pesisir/Sepadan Pantai, yang bertujuan melaksanakan ketentuan Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 (“Undang-Undang WP3K”).
Habibi menjelaskan bahwa Kepala Desa Sekaroh sudah mengetahui hal ini, terutama karena ia telah menyetujui larangan parkir tersebut dalam beberapa pertemuan dengan Sekda NTB, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta DPMPTSP Provinsi NTB, pada 8 Februari, 23 Juni, dan 26 Juni 2023.
“Pertemuan-pertemuan tersebut membahas perlindungan lingkungan, hutan, peraturan sepadan pantai, dan konservasi Pantai Pink,” ujar Habibi, kepada Lombokini.com, Senin, 26 Agustus 2024.
Habibi merasa aneh jika kini Kepala Desa Sekaroh mempertanyakan hal ini, padahal ia telah terlibat dalam proses pengambilan keputusan mengenai larangan tersebut.
“Tidak jelas mengapa sikap Kepala Desa berubah,” kata Habibi sambil menunjukkan berbagai dokumen dan peraturan pendukung.
Ia mencontohkan bahwa pada 17 Agustus 2024, saat perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, pengunjung tetap dapat mengakses area tersebut dengan berjalan kaki, tanpa pembatasan atau larangan. Hal ini bertujuan untuk melestarikan keindahan Pantai Pink dan mendukung upaya rehabilitasi lingkungan.
PT ESL juga telah menyediakan area parkir di luar kawasan pantai dan menawarkan pengelolaannya kepada Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sekaroh, namun hingga kini tawaran tersebut belum direspons.
Lebih lanjut, Habibi mengungkapkan bahwa Pantai Pink mulai kehilangan warna pinknya yang magis, sebagian besar disebabkan oleh kendaraan yang parkir ilegal di area pantai.
Parkir di sepadan pantai mengakibatkan kerusakan lingkungan, merusak rumput alami yang memisahkan tanah dari pasir pink, dan menyebabkan erosi. “Akibatnya, pasir pink bercampur dengan lumpur, mengubah warna pasir menjadi abu-abu atau coklat,”jelasnya.
Pantai Pink di Sekaroh, yang merupakan salah satu dari 17 pantai di seluruh dunia dengan warna pink alami, menjadi tempat parkir mobil, berbeda dengan pantai-pantai pink lainnya yang terlindungi dengan baik.
“Seharusnya, aset lingkungan yang sangat berharga ini dirawat dengan baik, bukan malah merusaknya,” ungkap Habibi, yang juga dikenal sebagai pemerhati lingkungan NTB.
Habibi menambahkan bahwa PT ESL dan Konsorsium Iklim dan Lingkungan NTB akan mendukung UNRAM sebagai bagian dari konsorsium untuk melaksanakan upaya konservasi di Pantai Pink selama musim hujan ini, dengan tujuan mengembalikan warna pink pantai.
“Sangat penting bagi semua pihak untuk melindungi dan merehabilitasi Pantai Pink agar tetap menjadi ikon pariwisata NTB,” ujarnya.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai izin desa untuk mengelola, pembangunan fasilitas permanen di area pantai, dan parkir ilegal, Habibi mengarahkan pertanyaan kepada pemerintah desa dan instansi terkait.
Menurutnya, Pantai Pink sebenarnya termasuk dalam Kawasan Hutan Lindung RTK-15 Sekaroh, sehingga segala kegiatan di sana harus mematuhi peraturan dan perizinan yang berlaku.
“Kami hanya menjalankan kegiatan sesuai dengan peraturan yang ada dan kesepakatan sebelumnya dengan instansi pemerintah,” pungkas Habibi. ***
Penulis : Ong