Oleh: Hari Bahagia
Masyarakat Sasak kerap dicitrakan konservatif dan patriarkal. Label itu melekat begitu kuat, seakan tak ada ruang bagi perempuan untuk tampil setara, seakan laki-laki selalu menjadi pusat keputusan dan pengendali ruang publik.
Seringkali, kritik akademis maupun obrolan sehari-hari berhenti pada kesan permukaan ini. Padahal, di balik stereotipe yang kaku, tersimpan lapisan pemahaman yang jauh lebih kompleks.
Dalam sistem nilai yang orang Sasak jalani, peran sosial tidak serta-merta dibatasi oleh jenis kelamin. Ada kelenturan dalam membagi peran yang kerap luput dari sorotan luar.
Di banyak rumah tangga, seorang ayah bisa ikut menggendong anak, menyiapkan lauk, bahkan masuk dapur tanpa beban stigma.
Ruang domestik yang dalam wacana modern sering dilekatkan semata pada perempuan, ternyata tidak sepenuhnya eksklusif.
Ada pengakuan bahwa setiap orang, entah laki-laki atau perempuan, dapat mengambil peran sesuai kemampuannya.
Di titik inilah kompetensi lebih diutamakan daripada kodrat biologis. Kemampuan merawat, memasak, dan mengatur urusan rumah tangga dipandang sebagai keterampilan yang berharga, bukan sekadar penanda jenis kelamin.
Ketika seseorang sanggup mengemban tugas dengan baik, masyarakat memberi tempat dan penghargaan, tanpa harus menanyakan “ini pekerjaan siapa?”.
Ran sebagai lelaki juru masak di hajatan gawe tradisi lokal ini menjadi simbol nyata dari realitas itu. Ia adalah sosok yang menembus batas-batas baku antara laki-laki dan perempuan.
Ran tidak hadir melalui perdebatan panjang tentang gender, bukan pula hasil dari arus pemikiran feminisme yang datang dari Barat.
Peran Ran sebagai juru masak diterima apa adanya, semata karena kepiawaiannya mengurusi ruang domestik yang biasanya dianggap wilayah perempuan.
Di sini, Ran menyingkap sebuah pelajaran penting: kesetaraan bukanlah sesuatu yang mesti selalu diperdebatkan, melainkan dijalani. Ia lahir dari praktik keseharian yang organik, yang tumbuh dari tradisi dan bukan dari jargon modern.
Kesetaraan tidak perlu diumumkan, karena ia sudah hidup dalam keseharian.
Perbedaan perspektif inilah yang sering kali membuat kita salah membaca kebudayaan. Dari kacamata Barat, isu gender identik dengan perjuangan panjang, dengan jargon “equal rights” atau “emansipasi”.
Kesetaraan yang Membumi
Di banyak seminar, kesetaraan kerap diposisikan sebagai hasil modernitas yang lahir dari wacana akademis.
Namun dalam tradisi Sasak, kesetaraan hadir dalam bentuk yang lebih cair, lebih praktis, dan lebih fungsional.
Budaya ini tidak menamai dirinya dengan istilah-istilah besar. Ia tidak menuliskannya dalam dokumen atau manifesto.
Tentu dalam kehidupan sehari-hari, nilai itu dijalankan dengan cara yang sederhana, tanpa merasa harus menegaskan diri sebagai “gerakan”. Ran adalah representasi dari itu: kesetaraan yang membumi.
Dengan demikian, kita belajar bahwa tradisi dan modernitas bukan dua kutub yang berlawanan. Ada jejak-jejak lama yang sebenarnya sudah mengenal keadilan peran.
Ran menunjukkan bahwa masyarakat adat tidak selalu tertinggal. Justru mereka menyimpan pengetahuan sosial yang bisa menjadi inspirasi bagi dunia modern yang kadang terjebak dalam slogan.
Kita perlu berhati-hati dalam menempelkan label. Sebab, ketika kita menyebut masyarakat adat semata patriarkal, kita berisiko mengabaikan ruang-ruang setara yang telah lama ada.
Lebih dari itu, kita kehilangan kesempatan untuk belajar dari kearifan lokal yang telah mengakar.
Ran mengajarkan kita cara memandang ulang budaya sendiri. Kesetaraan bisa lahir tanpa jargon, tanpa manifestasi gerakan, dan tanpa perlu pengakuan eksternal. Ia hadir dari kebiasaan yang sudah dianggap wajar, dan justru di situlah kekuatannya.
Di ujung refleksi ini, saya ingin mengajak diri kita untuk menengok ke dalam. Apakah benar semua masyarakat lokal selalu patriarkal?
Ataukah kita terlalu sering membaca budaya dengan kacamata luar, lalu gagal menangkap kompleksitasnya?
Ran menjadi jawaban yang tak terduga bahwa kesetaraan bukanlah produk tunggal modernitas, melainkan juga warisan tradisi. Nah, gitu?!. ***
Penulis adalah jurnalis budaya di kolektif Nusa Artivisme
Penulis : Hari Bahagia