LOMBOKINI.com – Perubahan Masa jabatan Kepa Desa (Kades) dari enam tahun kali tiga periode menjadi sembilan tahun kali dua periode jabatan, menentang konstitusi Hingga Berpotensi Membangun Oligarki dan Korupsi.
Seperti yang diketahui pada Selasa (27/6/2023) Panitia Kerja Penyusunan Rancangan Undang-Undang Desa Badan Legislasi DPR menyepakati usulan ketentuan peralihan bahwa perpanjangan masa jabatan Kades akan langsung berlaku ketika revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan menjadi undang-undang atau UU.
Jauh hari, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Achmad Hariri turut memberikan tanggapan soal perpanjangan masa jabatan Kades. Kata dia, apa yang menjadi wacana tersebut sebenarnya bertentangan dengan konstitusi.
“Yang perlu kita pahami konstitusi merupakan aturan dasar yang menjadi sumber pembentukan hukum,”ujar Hariri, mengutip dari um-surabaya.ac.id pada Jumat 30 Juni 2023.
Di menjelaskan, dalam perkembangannya konstitusi negara modern itu harus konstitusionalisme. Artinya konstitusi harus membatasi kekuasaan, hal ini dilakukan untuk menjauhi dari tindakan penyelewengan akibat tidak dibatasinya kekuasaan.
Tertuang dalam politik hukum konstitusi pada amandemen ke satu pasal 7 UUD 1945, masa jabatan presiden 5 tahun dan dibatasi dua periode, oleh sebab itu konstitusi UUD 1945 konstitusionalisme.
Pembatasan kekuasaan lembaga tinggi negara sudah konstitusional, artinya presiden maksimal 10 tahun, begitupun masa jabatan Bupati dan Gubernur.
“Pembatasan kekuasaan itu penting dalam penyelenggaran negara, kekuasaan yang tidak dibatasi akan cenderung corrupt,”tegasnya.
Dosen sekaligus Wakil Dekan Fakultas Hukum UM Surabaya ini menambahkan, dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa ada norma yang bertentangan dengan konstitusi yaitu pada pasal 39 terkait masa jabatan Kades.
Dalam pasal tersebut masa jabatan Kades relatif lebih lama dibandingkan dengan jabatan eksekutif di pemerintahan supra desa, yaitu 6 tahun dan dapat dipilih lagi sampai tiga periode, artinya Kades dapat menduduki sebagai orang nomor satu di desa sampai dengan delapan belas (18) tahun.
“Masa jabatan ini relatif lebih lama delapan tahun dibanding jabatan presiden, gubernur, bupati dan wali kota, sehingga kepala desa akan dimungkinkan dapat menyelewengkan kewenangan abuse of power dan masa jabatan tersebut bertentangan dengan konstitusionalisme,”imbuhnya lagi.
Padahal semangat dari konstitusionalisme adanya pembatasan kekuasaan. Hariri menyebut, kekuasaan yang dibiarkan cukup lama juga akan berpotensi membangun oligarki.
Masa jabatan Kades maksimal 18 tahun merupakan masa yang lama. Padahal pembatasan kekuasaan pemerintah itu dapat dilihat ketika adanya amanden ke satu UUD 1945, yaitu pembatasan masa jabatan penguasa dalam hal ini presiden.
“Kekuasaan yang tidak terbatas akan menghasilkan kekuasaan yang cenderung korup. Masa jabatan kepala desa ini inkonstitusional karena tidak sesuai dengan konstitusionalisme yang dianut pada konstitusi negara,”pungkas dia. (*)
Penulis : Ong
Editor : Redaksi
Sumber Berita : um-surabaya.ac.id