Oleh : Abdul Hamid Chan & Muhammad Fazli Taib Saearani
Alih Bahasa : Salman Faris
Pada tahun 2014 saya berkunjung ke Lombok. Tentu saja kunjungan yang masih berkesan sampai sekarang. Meski saya sudah dengar dari rekan-rekan yang telah berkunjung ke Lombok bahwa kemajuan infrastruktur di Lombok jauh lebih berkembang sekarang dibandingkan pada tahun 2014 itu, namun saya belum sempat datang kembali ke Lombok. Saya ada perancangan datang kembali dalam masa terdekat ini.
Kunjungan sembilan tahun yang lalu merupakan rangkaian program pemerhatian terhadap kesenian Melayu yang berkembang di Nusantara. Dari beberapa tulisan yang sudah saya baca, baik dari sisi yang terus menyentuh kesenian di Lombok, seperti tulisan David Harnish, saya dapat menangkap tanda kemelayuan pada kesenian Lombok cukup kuat. Namun untuk membuat tanda kemelayuan tersebut semakin jelas, diperlukan satu bangunan kategori dan genealogi yang kukuh. Hal ini dapat dilakukan jika penelitian secara luas dan mendalam dijalankan.
Pada topik kali ini, saya hanya mencoba melihat percikan luar. Belum menyentuh bagian paling dalam pada relasi tanda yang ada. Dari percikan tersebut, pada dasarnya sudah dapat dibangun satu kerangka teori bahwa Lombok merupakan bagian penting dari persebaran Melayu, terutama sekali jika dihubungkaitkan dengan Islam. Agama Islam memberikan kontribusi sangat besar dalam menyatukan pecahan-pecahan budaya yang tersebar di Nusantara. Peran para pedagang dan pendakwah (ulama) sangat penting karena di samping mereka membawa kepentingan perdagangan, dalam masa yang sama, kebudayaan turut serta.
Dalam kurun ratusan tahun terjadi pertautan dan adaptasi yang terus-menerus sehinggalah mencetuskan satu bentuk konsensus yang diekspresikan melalui kesenian. Dalam hal ini, jaringan Islam dan intelektual Nusantara telah berperan penting dalam mendekatkan Lombok dengan kebudayaan lain di Nusantara.
Dua tahun terakhir ini, saya melakukan penelitian terkait Dabus yang melingkupi unsur tarian, ritual, sosial dan unsur lain yang tidak dapat dilepaskan dari agama Islam. Penelitian ini dijalankan di Perak. Provinsi perak merupakan salah satu peletak dasar Kemelayuan pertama di Semenanjung Malaysia. Ada dua hal penting sebagai rujukan yakni dari segi sejarah Melayu itu sendiri, Perak merupakan termasuk bagian awal pembentukan peradaban Melayu selepas Melaka. Dalam banyak catatan disinggung bahwa keturunan Parameswara menjadikan Perak sebagai tumpuan awal peneguhan peradaban Melayu.
Selain itu, dari sudut pandang seajarah yang lebih modern pun dijumpai yang Inggris melakukan eksplorasi kekuasaan pertama kali di Provinsi Perak. Karena itu tidaklah berlebihan jika Dato’ Dr. Afifi Al-Akiti (salah seorang cendekiawan Melayu terkemuka saat ini) mengemukakan bahwa Kuala Lumpur merupakan penjelamaan baru Provinsi Perak. Era modern di Malaysia banyak dimulai penapakannya di Perak. Pembangunan rel kereta api, pusat kota hingga pendidikan modern sebagai contoh, oleh Inggris diasas pertama kali di Perak. Termasuklah situs-situs sejarah modern di Malaysia pun banyak dijumpai di Perak selain di Melaka.
Sebagai bagian dari pembentukan sejarah modern awal Malaysia, tarian Dabus pun dipercayai menapak pertama kali di Perak setelah pedagang dari Timur Tengah dan Aceh membawa tarian Dabus sebagai bagian penting kebudayaan mereka. Karena tarian Dabus mencerminkan keislaman yang kuat, tidak diperlukan waktu yang lama untuk masyarakat Melayu menerima dan menjadikan Dabus sebagai bagian penting kebudayaan mereka. Dalam kurun puluhan tahun, unsur Islam dan budaya Melayu telah menjadi unsur penting pula dalam setiap pertunjukan tarian Dabus.
Salah satu unsur penting dalam pertunjukan tarian Dabus ialah Berzanji, Selawat Nabi, dan doa yang keseluruhannya bersumber dari Islam. Unsur ini, selain menjadi pengetahuan, ia juga menjadi amalan wajib, baik ketika pertunjukan tarian Dabus sedang berlangsung maupun dalam konteks sosial keseharian masyarakat Melayu. Tidak dinamakan Dabus jika terlepas dari unsur tersebut. Karena itu, teori penting berkenaan Dabus ialah Dabus merupakan Melayu itu sendiri. Dabus hanya dimainkan oleh orang Islam dan Islam ialah Melayu itu sendiri.
Kembali kepada kunjungan saya ke Lombok sembilan tahun yang lalu. Pada masa itu saya berkesempatan menonton pertunjukan tarian Rudat, tarian Baris dan Kemidi Rudat. Meskipun penamaan terhadap ketiga jenis kesenian yang ada di Lombok ini berlainan, namun pada dasarnya ia dibentuk dari motif yang sama. Dari segi bentuk pertunjukan, unsur pencak silat dan baris-berbaris nampak jelas. Dari kedua unsur ini saja, pada dasarnya sudah dapat dibangun satu kerangka genealogis, di mana Lombok dan Perak sudah ada hubungkait yang erat. Akan tetapi, saya akan menyinggung berkenaan unsur lain yang mencirikan kesamaan antara Dabus di Perak, Malaysia dengan ketiga jenis kesenian yang di Lombok.
Unsur irama Berjanji sebagai keutamaan dalam Dabus di Perak, juga merupakan unsur penting dalam tarian Rudat atau tarian Baris. Berzanji merupakan sumber penciptaan pantun Melayu lama yang digunakan dalam pertunjukan Dabus. Hal yang sama terjadi pada tarian Rudat maupun tarian Baris di Lombok.
Berdasarkan perbincangan ringkas bersama beberapa seniman yang ada di Taman Budaya NTB (Lombok) ketika itu, dapat diketahui bahwa tarian Rudat maupun tarian Baris berfungsi sebagai penyebaran ajaran Islam di Lombok. Bahkan lebih jauh, ia juga berfungsi sebagai latihan fisik untuk keperluan peperangan. Tarian ini sempat dicurigai oleh penjajah Belanda sebagai medium pemberontakan, namun karena bentuk persembahan digubah dalam tarian bermotif silat dan baris-berbaris, Belanda kehilangan akal dan alasan untuk melarang masyarakat di Lombok mempersembahan tarian tersebut.
Beberapa peneliti mengemukakan pendapat bahwa Dabus juga merupakan kesenian yang berhubungkait dengan perang. Melalui Dabus, prajurit mendapatkan latihan fisik sekaligus spiritual. Ada juga yang berpandangan bahwa Dabus dipersembahkan di sela-sela istirahat dalam situasi peperangan. Untuk menghibur prajurit maka diperlukan pertunjukan sela dan pilihan yang paling sesuai ialah Dabus karena di dalamnya terkandung unsur latihan fisik sekaligus spiritual.
Dalam perkembangannya, setelah Dabus menapak di Perak, ia juga berfungsi sebagai penyambung ajaran Islam dengan budaya Melayu pada masa itu. Ini pula yang menunjukkan betapa Dabus memiliki kontribusi penting dalam penyebaran Islam di Perak. Dapat dikatakan bahwa jika Dabus tidak berdasarkan Islam, sudah pasti akan mendapatkan penentangan yang kuat dari masyarakat Melayu. Sebagai kesenian yang berasaskan Islam, unsur penting lainnya dalam Dabus ialah doa. Semua doa yang dipanjatkan mestilah berusmber dari Al-Qur’an. Setelah itu disarikan dalam bahasa Melayu agar masyarakat lebih mudah memahami dan meyakini. Unsur utama doa dalam Dabus ialah tauhid. Karena itu, dalam bentuk apa pun penyusunan doa yang berbahasa melayu, keseluruhannya mestilah mengandung keyakinan tauhid.
Dalam tarian Rudat dan tarian Baris, seniman memahami bahwa nilai terpenting yang diyakini dan diamalkan ialah bermula dari syahadat lalu ditutup al-Fatihah. Karena itu, struktur persembahan dan motif gerak tarian Rudat dan tarian Baris memberikan simbol yang terhubung secara rapat dengan tauhid itu sendiri. Meskipun gerak merupakan pelajaran awal bagi siapa pun yang akan mempelajari tarian ini, namun hal ini hanya sebagai metode mendekatkan kemenjadian tarian dengan penari. Setelah terjadi hubungan yang tak terpisahkan, pengisian tauhid mulai dilakukan agar penari dapat memahami sekaligus meresapi nilai utama tarian yakni tauhid.
Lantas bagaimana menghubungkaitkan Perak dan Lombok dalam kesenian Dabus dan tarian Rudat-tarian Baris? Sebenarnya ini mencetuskan ide untuk saya melakukan peneletian lebih lanjut karena sudah pasti akan melibatkan disiplin lain. Selain Sejarah, juga disiplin sastra, antropologi hingga arkeologi kebudayaan diperlukan. Sebagai ide dasar, fenomena ini sangat menarik karena tanpa ada upaya untuk menghubungkan Perak dengan Lombok pun, tanda hubungan kebudayaan antarkeduanya sudah nampak jelas. Apabila merujuk kepada pemahaman kebudayaan sebagai konstruksi berpikir manusia yakni kebudayaan dikreasikan sebagai ekspresi holistik manusia berkaitan ruang dan waktu, maka jelas tergambar bahwa Perak dan Lombok berhubungkait secara rapat.
Dari segi ruang, sudah jelas Lombok dan Perak sangat berjauhan. Namun dari segi waktu, saya meragukan yang waktu akan memberikan dampak perbedaan yang kuat antarkeduanya. Sebagai contoh, jika merujuk tercetusnya Dabus, tarian Rudat dan tarian Baris, kita dapat menarik satu garis di mana kesenian ini tumbuh dan berkembang dalam masa yang hampir bersamaan. Masa itu tentu saja yang paling masuk akal ialah di mana Islam sedang berkembang di Nusantara.
Metode persebaran Islam di Nusantara sering dijumpai memiliki kesamaan. Salah satunya ialah menggunakan medium kesenian. Hal ini disebabkan oleh semangat sejarah yang sama, juga dari segi politik kekuasaan, ia berada dalam kekuasaan Islam yang sama. Misalnya, kita mengenal Wali Songo di Indonesia yang secara sepintas dapat dilihat sebagai wadah kekuasaan para wali yang dikumpulkan dalam visi sama dalam penyebaran Islam. Hal yang sama jika melihat bagaimana hubungan Pattani Thailand dengan Aceh, di mana keduanya merupakan salah satu pusat hubungan penyebar (ulama-intelektual) Islam di Nusantara.
Jika berpegang kepada situasi tersebut, dalam konteks Melayu, maka dapat disusun satu kerangka teori bahwa tarian Rudat, tarian Baris, Dabus tercetus di pusat kekuasaan Islam, dalam hal ini Pattani Thailand-Aceh. Pencetus tentu saja ialah mereka yang tergolong ulama dan mempunyai pengaruh keilmuan dan kewibawaan yang kuat. Melalui ilmu dan pengaruh tersebut dibentuk satu jaringan geografis (ruang) yang bernama Nusantara. Dan corak penting jaringan tersebut, selain Islam sebagai agama, juga ialah kesenian dan kebudayaan. Dalam hal ini, para tokoh penting penyebar agama Islam di Nusantara mempunyai kesepahaman yang sama bahwa kesenian dapat digunakan sebagai medium mendekatkan Islam dengan masyarakat.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa tarian Rudat, tarian Baris maupun Dabus ialah kesenian yang sama. Bentuk persembahan yang mengalami sedikit perubahan di beberapa tempat yang berbeda, seperti di Lombok dan Perak, disebabkan oleh tuntutan akulturasi dan keperluan menyebarkan agama Islam itu sendiri. Secara sederhana, meski kesenian ini berada di tempat berbeda, namun pada dasarnya diciptakan pada era yang sama, tujuan yang sama dan oleh pencipta yang sama.
Itulah sebabnya, semakin dalam saya meneroka bentuk kesenian yang ada di Nusantara ini, termasuk yang di Lombok dan Perak, saya jadi terpikir yang Islam telah berkontribusi besar membangun kesadaran kesamaan, kesadaran lintas budaya. Kesenian tidak pernah berpolitik (menjajah). Kesenian tak pernah berperang. Kesenian tidak pernah memecah belah manusia. Jika pada akhirnya persepsi dan imajinasi perbedaan itu terbentuk, misalnya Lombok dan Perak berada di negara yang berbeda (Lombok di Indonesia dan Perak di Malaysia), itu karena politik kuasa dan penjajahan.
Bahkan lebih jauh kita dapat membayangkan tentang hubungan genetik manusia Nusantara. Nalar sederhananya ialah ketika kesenian tersebut disebarkan, pada masa itu bukan tak mungkin berlaku kawin-mawin antara pendatang dan penduduk lokal. Jika teori kesenian tersebut pada dasarnya sama lalu berkembang di tempat berbeda, dapat dipastikan bahwa perkawinan itu ada. Sebagai contoh ialah perkawinan orang Perak yang merantau ke Aceh lalu kembali ke Perak sambil membawa Dabus. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa secara genetik, Perak dan Lombok sangat besar kemungkinan terhubung rapat. Tanda ini dapat dilihat pada cara mereka mengeskpresikan diri dalam kesenian yang sama. Akan tetapi, tentu saja perkara ini memerlukan penelitian mendalam untuk membuktikan kerangka awal teori tersebut.
Dalam hal ini, saya hanya ingin menegaskan bahwa baik secara genetik maupun genealogi agama dan kebudayaan, Perak dan Lombok terikat kuat. Dan kemungkinan pada masa lampau keduanya ialah satu genetika, sangatlah terbuka.
Malaysia, 12 Agustus 2023
( Abdul Hamid Chan & Muhammad Fazli Taib Saearani merupakan Dosen Senior di Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia ).
Penulis : Abdul Hamid Chan & Muhammad Fazli Taib Saearani
Editor : Salman Faris